Jakarta — Utang Luar Negeri nasional menyusut dramatis menjadi US$431,9 miliar pada Agustus 2025, hanya tumbuh 2% yoy, berbanding terbalik dengan ekspansi dua digit di periode sebelumnya; Bank Indonesia menyebut pelambatan ini sebagai hasil strategi sehat pemerintah dalam mengelola risiko utang sekaligus menopang stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan global.
Bank Indonesia mencatat perlambatan signifikan dalam posisi utang luar negeri Indonesia, yang tercatat sebesar USD431,9 miliar pada Agustus 2025, turun dibandingkan bulan sebelumnya. Pertumbuhan ULN hanya sebesar 2 persen secara year-on-year, jauh melambat dibandingkan periode-periode sebelumnya. Perlambatan ini mencerminkan kehati-hatian pelaku ekonomi dalam mengakses pendanaan eksternal, seiring dengan tekanan suku bunga global yang tinggi dan pelemahan nilai tukar rupiah. Perkembangan ini juga menunjukkan efektivitas kebijakan BI dalam mengelola eksternal balance, dengan strategi pengelolaan ULN yang tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk menjaga stabilitas ekonomi makro jangka panjang.
Inti Kegiatan: Faktor Kunci yang Tak Boleh Terlewat
- Utang luar negeri Indonesia tumbuh melambat menjadi USD431,9 miliar pada Agustus 2025, hanya naik 2 persen (yoy) dari 4,2 persen pada Juli, seiring dengan menurunnya kebutuhan pembiayaan pemerintah serta sikap berhati-hati pelaku usaha dalam menambah posisi pinjaman dari kreditur asing. Bank Indonesia mencatat, komponen utang pemerintah berada di level USD190,4 miliar—nais tipis 0,8 persen (yoy)—karena sebagian besar penerbitan global bond sudah tercover pada kuartal I–II/2025, sementara emisi Surat Berharga Negara (SBN) non-residen menurun seiring stabilnya defisit fiskal di bawah 2,3 persen PDB. Di sisi swasta, utang sektor nirbank mencapai USD214,7 miliar dengan pertumbuhan 3,1 persen (yoy), turun dibanding Juli 5,6 persen karena emiten energi dan manufaktur lebih memilih pelunasan dini untuk mengurangi paparan valuta asing di tengah pelemahan rupiah. Utang jangka pendek sesungguhnya mengecil 4 persen menjadi USD56,8 miliar, menurunkan rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa menjadi 17,6 persen—di bawah ambang aman 25 persen menurut standar BI—sehingga risiko likuiditas external tetap terkendali. Kinerja rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto pada posisi 29,1 persen juga masih dalam zona aman sebagaimana ditargetkan dalam RPJMN 2025-2029, memberi ruang bagi pembiayaan infrastruktur hijau dan transisi energi tanpa mengkhawatirkan kelonggaran fiskal dan moneter.
- Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah pada akhir kuartal III 2023 tercatat mencapai USD 185,4 miliar dan tetap didominasi utang jangka panjang dengan proporsi 99,9 persen dari total ULN pemerintah, refleksi dari strategi pengelolaan risiko valas yang berhati-hati. Meski masih tumbuh, laju ekspansi utang jaring pemerintah melambat signifikan menjadi 6,7 persen year-on-year (yoy), turun dari 8,3 persen pada kuartal sebelumnya, seiring penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) luar negeri yang lebih selektif dan pemanfaatan dana hibah multilateral. Sementara itu, ULN sektor swasta—terdiri atas Bukan Bank, Bank, serta emiten korporasi—masih susah pulih, tercatat terkontraksi 1,1 persen yoy menjadi USD 166,9 miliar. Kontraksi ini dipicu keengganan perusahaan menambah pinjaman baru akibat cuaca investasi global yang masih bergejolak, biaya pinjaman tinggi, dan upaya deleveraging guna memperbaiki rasio keuangan pasca-pandemi.
- Rasio utang luar negeri (ULN) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III 2023 tercatat tetap stabil di kisaran 30 persen, posisi yang relatif aman jika dibandingkan dengan ambang batas 60 persen yang ditetapkan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Angka ini menandakan bahwa struktur utang Indonesia masih sehat dan memiliki ruang fiskal yang cukup besar untuk menampung kebutuhan pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko keberlanjutan utang jangka panjang. Stabilitas rasio tersebut juga mencerminkan konsistensi pemerintah dalam mengelola profil utang secara hati-hati, baik melalui strategi optimalisasi komposisi utang—dengan menekan proporsi utang jangka pendek serta memperbesar porsi utang jangka panjang dengan suku bunga tetap—maupun melalui diversifikasi sumber pendanaan ke pasar surat berharga rupiah dan instrumen green bond. Bank Indonesia menilai, kondisi tersebut turut didukung oleh kepercayaan investor global yang tetap solid terhadap prospek ekonomi domestik, sehingga memperkuat kapasitas pembayaran Indonesia di tengah volatilitas pasar keuangan global.
Jakarta—Bank Indonesia mencatat perlambatan signifikan pada pertumbuhan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia, yang pada Agustus 2025 tercatat sebesar USD 431,9 miliar—setara Rp 7.161 triliun berdasarkan asumsi kurs Rp 16.580 per dolar Amerika Serikat. Pertumbuhan ULN secara tahunan hanya mencapai 2,0 persen (year-on-year/yoy), turun jauh dibandingkan ekspansi 4,2 persen yoy pada Juli 2025. Perlambatan ini, menurut Departemen Komunikasi BI, berasal dari penurunan bertahap baik di sektor sektor swasta maupun publik. Sektor swasta menyumbang 76,4 persen dari total ULN, namun pertumbuhannya merosot menjadi 1,4 persen yoy dari 3,6 persen sebelumnya, seiring kehati-hatian pelaku usaha dalam menambah pinjaman baru akibat tren suku bunga global yang masih tinggi. Sementara itu, ULN sektor publik—yang meliputi pemerintah pusat dan bank sentral—tumbuh 4,2 persen yoy, lebih rendah dibandingkan 6,1 persen pada periode sebelumnya, sejalan dengan strategi pengelolaan fiskal yang tetap berhati-hati. Struktur ULN Indonesia dinilai tetap sehat, dengan rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) pada posisi 29,8 persen, masih di bawah ambang aman 30 persen sebagaimana disarankan praktik internasional. Selain itu, profil jatuh temponya relatif menekan: 77,8 persen ber-jangka panjang, sehingga risiko rollover (pembaharuan pinjaman) dalam jangka pendek terbatas. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan otoritas terkait untuk mengawali dampak fluktuasi kurs dan memastikan stabilitas eksternal tetap terjaga seiring potensi kenaikan suku bunta The Fed pada kuartal terakhir 2025.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan ini terutama dipicu oleh berkurangnya ambisi peminjaman sektor publik, seiring dengan upaya fiskal yang lebih berhati-hati dalam rangka menjaga stabilitas neraca keuangan negara. Sementara itu, sektor swasta justru mencatat kontraksi yang semakin dalam, sejalan dengan pelemahan permintaan global, lonjakan biaya pinjaman akibat suku bunga acuan yang lebih tinggi, serta kebijakan perusahaan-perusahaan multinasional yang menunda ekspansi dan memilih pelunasan dini atas obligasi berdenominasi dolar demi menurunkan risiko valuta asing. Kedua dinamika ini menurut Ramdan berkontribusi signifikan dalam menurunkan posisi ULN nasional menjadi USD 396,5 miliar atau setara 29,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto, turun 0,9 persen secara kuartal-ke-kuartal, yang sekaligus memperbaiki rasio keberlanjutan utang jangka panjang Indonesia di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Kemudian, ULN pemerintah pada Agustus 2025 tercatat sebesar USD213,9 miliar, tumbuh 6,7 persen yoy, atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan 9,0 persen yoy pada Juli 2025. Perlambatan ini terjadi karena penerbitan Surat Utang Negara (SUN) pada Agustus relatif lebih kecil ketimbang Agustus 2024 yang masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan, serta penguatan rupiah terhadap dolar AS yang otomatis menurunkan nilai obligasi berdenominasi dolar di pasar global. Direktur Penilaian dan Akuntansi Utang Negara, Deni Revizar, menjelaskan bahwa sebagian besar pelunasan ULN dilakukan melalui amortisasi pokok SUN atas posisi yang jatuh tempo pada Agustus 2025, sehingga pasokan utang baru cenderung ditekan. Sementara itu, komposisi mata uang masih didominasi dolar AS (58,6 persen), diikuti euro (19,4 persen) dan yen Jepang (9,2 persen); namun, penurunan kurs tukar rupiah dari Rp15.847 per dolar AS pada akhir Agustus 2024 menjadi Rp15.413 per dolar pada akhir Agustus 2025 menekan perlambatan pertumbuhan ULN dalam bentuk dolar. Kementerian Keuangan menegaskan bahwa perlambatan tersebut tetap dalam koridor aman karena rasio ULN pemerintah terhadap produk domestik bruto hanya 15,6 persen, jauh di bawah ambang batas mandiri 30 persen, sekaligus memberi ruang bagi sisi fiskal untuk menyukseskan proyek-proyek strategis, terutama pembiayaan ibu kota negara baru dan infrastruktur energi transisi menuju net-zero emission.
“Perkembangan ini terutama dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan aliran masuk modal asial pada Surat Berharga Negara (SBN) seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” kata Denny dalam keterangannya, Rabu, 15 Oktober 2025. Ia menjelaskan, volatilitas yang ditimbulkan oleh terus-meneringnya ketegangan geopolitik, proyeksi penurunan suku bunga The Fed yang masih belum menentu, dan lonjakan imbal hasil obligasi AS telah mendorong investor asing bersikap defensif, bahkan mencatatkan aliran dana keluar bersih (net sell) sebesar Rp 4,2 triliun di pasar obligasi Indonesia selama dua pekan terakhir. Akibatnya, lanjutnya, porsi kepemilikan SBN oleh investor non-residen tercatat turun kelevel 17,3% dari 18,1% pada akhir Agustus, memperketat ruang bagi lembaga penjaminan emisi untuk menyerap pasokan surat utang negara di pasar domestik. “Tren ini memakai pemerintah meningkatkan insentif, mulai penerapan tax amnesty untuk realokasi aset hingga penyesuaian premi risiko, agar tetap menarik investor global di tengah kompetisi negara berkembang lainnya yang juga gencar menggalang dana,” pungkasnya.
Denny menjelaskan bahwa Utang Luar Negeri (ULN) diposisikan tak sekadar colokan dana jangka pendang, melainkan instrumen strategis dalam kerangka pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola melalui tiga prinsip utama: cermat, terukur, dan akuntabel. Setiap penarikan pinjaman harus melewati mekanisme gatekeeping berlapis, mulai dari penilaian kelayakan proyek oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Kebijakan Fiskal, hingga evaluasi rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang ketat oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Dana hasil emisi surat utang maupun pinjaman bilateral multilateral kemudian dialokasikan secara selektif untuk 15 program prioritas nasional—termasuk pembangunan 3.850 kilometer jalan tol, 61 bendungan, 1.059 kilang minyak kelapa sawit mini, serta 61.000 unit rumah susun milik pemerintah—yang diproyeksikan mampu memacu multiplier effect sebesar 1,86 kali terhadap PDB dan menyerap 2,3 juta tenaga kerja langsung maupun tidak langsung selama masa konstruksi. Keberlanjutannya dijaga melalui pencatatan rinci dalam neraca keuangan pemerintah yang dipublikasikan tiap triwulan, sementara pelaksanaan fisik proyek dipantau real-time melalui Sistem Informasi Monograf Pembangunan Infrastruktur Nasional untuk memastikan setiap dolar utang benar-benar berkontribusi pada penguatan struktur ekonomi nasional, penurunan biaya logistik, dan peningkatan daya saing Indonesia di tengah tren normalisasi kebijakan moneter global.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah digunakan untuk membiayai kebutuhan prioritas negara yang berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar dana diporongkan untuk pembangunan infrastruktur strategis seperti jaringan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan sistem transportasi massa yang diharapkan mampu menurunkan biaya logistik dan meningkatkan daya saing sektor ril. Di samping itu, ULN dialokasikan pula untuk mendanai proyek-proyek ketenagalistrikan, irigasi, dan penanganan lingkungan hidup guna menjamin ketersediaan sumber daya yang menopang produktivitas jangka panjang. Sektor kesehatan dan pendidikan turut menerima alokasi guna memperluas jangkauan layanan dasar, sedangkan sejumlah tertentu disediakan sebagai pendanaan program pemulihan ekonomi, termasuk perlindungan sosial dan insentif UMKM, untuk menjaga stabilitas konsumsi serta stabilitas sistem keuangan dalam negeri.
- Jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyumbang 23,4 persen dari total Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah, menunjukkan komitmen yang signifikan dalam mendanai sektor vital ini. Menurut data Bank Indonesia, besaran utang untuk kesehatan dan kegiatan sosial ini tercatat sebesar Rp163,2 triliun per akhir semester I 2024. Sebagai sektor yang langsung menyentuh kesejahteraan masyarakat, alokasi ini menempati posisi tertinggi kedua setelah sektor pemerintahan umum, perahanan, dan pemerintahan yang menyumbang 25,6 persen. Dengan komposisi ini, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan publik dan program-program perlindungan sosial, terutama di tengah tantangan ekonomi global yang masih fluktuatif.
- Jasa pendidikan membukukan pertumbuhan sebesar 17,2 persen secara tahun-on-year pada triwulan I-2024, melampaui laju ekspansi hampir seluruh sektor ekonomi lainnya. Lonjakan tersebut didorong oleh meningkatnya permintaan program vokasi, kursus digital, serta ekspansi sekolah berbasis teknologi yang menyesuaikan kebutuhan pasok tenaga kerja. Kementerian Perdagangan mencatat, ekspor jasa pendidikan—mulai dari pelatihan bahasa, kuliah jarak jauh, hingga konsultasi kurikulum—meroket 28 persen quarter-to-quarter setelah Indonesia menandatangani sejumlah perjanjian liberalisasi jasa pendidikan dengan Tiongkok, Australia, dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, realisasi investasi asing di sektor pendidikan mencapai US$ 620 juta, didominasi pendirian kampus internasional dan ekosistem edutech di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Cilacap, Surabaya, dan Batam. Para pelaku industri menyebut efek ganda dari konsumsi rumah tangga yang optimistis, didukung pembayaran uang sekolah semester genap, serta subsidi kartu pra-kerja yang belum habis, turut memperkuat momentum kuartalan. Namun, asosisasi pengelola lembaga kursus memperingatkan potensi perlambatan pada paruh kedua 2024 jika belanja pemerintah untuk pendidikan kembali dipangkas dalam revisi anggaran, sekaligus mempertanyakan keberlanjutan insentif pajak bagi perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan bagi karyawan.
- Administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib menyita 15,7 persen dari total belanja negara pada semester I 2024, senilai Rp 362,8 triliun. Kucuran ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memelihara stabilitas kelembagaan, memperkuat postur pertahanan, serta menopang daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial seperti bansos pangan, subsidi energi, dan iuran pemerintah BPJS Ketenagakerjaan maupun Kesehatan. Realisasi anggaran tersebut naik 0,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu akibat tekanan inflasi, penyesuaian upah PNS, dan penambahan penerima bantuan iuran JKN sebanyak 5,2 juta kepala keluarga. Kementerian Keuangan menyatakan bahwa alokasi ini tetap akan dijaga efisiensinya; insentif TNI, pensiun pejabat, serta operasional kementerian/lembaga dipangkas 3,2 persen melalui refocusing, sementara dana bantuan sosial diproteksi agar tidak menyusut dampaknya pada konsumsi rumah tangga.
- Sektor konstruksi tercatat tumbuh 12,3 persen secara tahunan pada triwulan tiga tahun ini, menjadi motor utama pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan realisssi proyek infrastruktur strategis nasional sampai September telah menyerap anggaran Rp 245,7 triliun atau 78 persen dari pagu tahunan, sementara investasi properti komersial melonjak 34 persen didorong permintaan gudang dan pusat data. Pertumbuhan tertinggi tercatat pada subsektor konstruksi gedung yang mencapai 15,1 persen, diikuti konstruksi jalan/jembatan 11,9 persen dan konstruksi kelistrikan 10,4 persen. Namun demikian, Asosiasi Kontraktor Indonesia memproyeksikan momentum ini akan melambat di triwulan IV seiring kenaikan suku bunga acuan dan pengetatan likuiditas perbankan yang berpotensi menahan realisasi proyek-proyel swasta.
- Kontribusi sektor transportasi dan pergudangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) Lamping pada kuartal I-2024 tercatat 9,0 persen, melonjak 1,9 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu. Lonjakan ini didorong peningkatan volume angkutan barang sebesar 12,4 persen—terutama batubara, hasil perkebunan serta komoditas manufaktur—seiring perbaikan jaringan jalan nasional dan operasional gudang cold-chain di Way Lunik, Pesawaran. Gubernur Herman Hasanusi menegaskan bahwa investasi Rp 2,1 triliun pada bandara internasional Radin Inten II yang rampung April lalu berperan ganda: mempercepat distribusi produk hortikultura ke Jakarta dan Jawa, sekaligus menurunkan biaya logistik rata-rata dari 17,8 persen menjadi 15,2 persen dari nilai barang. Direktur Eksekutif Asosiasi Logistik Indonesia, Agus Andrianto, menambahkan, pemanfaatan aplikasi SiLogis oleh 3.600 perusahaan penyewaan truk di wilayah tersebut memangkas idle time armada 23 persen; ia memproyeksikan, apabila konsumsi domestik terus membaik, sektor ini bisa tumbuh double digit sampai akhir tahun dan menyerap tambahan 17 ribu pekerja, sebagian besar sopir dan operator pergudangan yang selama pandemi dirumahkan.
- Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tumbuh 8,0 persen secara tahunan di kuartal I-2024, melampaui konsensus pasar sebesar 7,2 persen, sehingga berkontribusi 0,48 poin persentase terhadap total pertumbuhan Produk Domestik Bruto non-migas. Lonjakan ini didorong peningkatan premi bruto perusahaan asuransi jiwa sebesar 12,3 persen (yoy) menyusul penjualan produk unit-link yang memanfaatkan tren kenaikan suku bunga acuan, sementara pendapatan bunga bersih perbankan melonjak 9,6 persen karena kredit konsumsi dan korporasi masing-masing melonjak 10,9 persen dan 11,4 persen. Otoritas Jasa Keuangan mencatat rasio kecukupan modal (CAR) industri perbankan masih kokoh di 27,4 persen, memperkuat ruang ekspansi penyaluran kredit hingga akhir tahun. Namun, risiko tertinggi menurut Bank Indonesia adalah potensi pelemahan kualitas aktiva seiring kenaikan suku bunga; NPL gross diproyeksi naik tipis ke 2,8 persen pada Juni dari 2,6 persen pada Maret.
“Posisi ULN pemerintah tersebut didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah,” imbuhnya. Komposisi ini menunjukkan kehati-hatian pemerintah dalam mengelola profil risiko valas, sebab utang jangka panjang umumnya dilengkapi jangka waktu hinga 30 tahun dan suku bunga tetap yang lebih rendah, sehingga menekan tekanan likuiditas jangka pendek. Rincian Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa dari US$198,4 miliar ULN pada akhir Maret 2024, Sekuritas Surat Utang Negara (SUN) luar negeri menyumbang 40,2 persen, pinjaman bilateral 33,4 persen, dan sisanya berasal dari lembaga multilateral serta skema green & blue bonds. Sumber di Kemenkeu menambahkan, rerata tenor utang jangka panjang yang diterbitkan sepanjang 2023 berada di kisaran 11,7 tahun, naik dari 10,9 tahun di tahun sebelumnya, yang sekaligus menurunkan weighted average interest rate ke 3,8 persen, terendah dalam sejarah.
Krisis Bertahan: Bisnis Swasta ULN belum Bangkit
Sementara itu, utang luar negeri (ULN) sektor swasta masih belum mampu keluar dari tren pelemahan, bahkan terus menyusut lebih dalam. Data Bank Indonesia menunjukkan posisi ULN swasta pada Agustus 2025 berada di level USD194,2 miliar, atau menyusut 1,1 persen secara year-on-year (yoy). Penurunan ini lebih tajam dibandingkan kontraksi 0,2 persen (yoy) pada Juli sebelumnya, sekaligus mencatatkan kontraksi terdalam dalam 14 bulan terakhir. Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menjelaskan bahwa penyusutan ini terutama dipicu oleh pelunasan utang jangka panjang di sektor manufaktur dan pertambangan sebesar USD3,4 miliar, sambil penerbitan obligasi global baru sepanjang Agustus hanya mencapai USD1,1 miliar. Sisi positifnya, rasio ULN swasta terhadap produk domestik bruto masih terkendali di level 15,1 persen—turun dari 15,6 persen pada Agustus 2024—sehingga membertahankan ruang perlindungan terhadap risiko pasar valas yang masih tinggi.
Menurut Denny, kontraksi ini bersumber dari Ulilitas luar negeri (ULN) nonlembaga keuangan (nonfinancial corporations) yang menurun 1,6 persen year-on-year (yoy) seiring dengan upaya perusahaan menekan pinjaman baru akibat pelemahan permintaan global dan kenaikan suku bunga, serta ULN lembaga keuangan (financial corporations) yang tumbuh melambat menjadi 0,8 persen yoy karena bank-bank domestik lebih selektif dalam menyerap dana asing setelah mempertimbangkan risiko nilai tukar yang meningkat dan lonjakan biaya lindung nilai.
“Berdasarkan sektor ekonomi, Utang Luar Negeri (ULN) swasta terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, jasa keuangan dan asuransi, pengadaan listrik dan gas, serta pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 81,2 persen terhadap total ULN swasta,” tandasnya. Kementerian Keuangan mencatat, sektor industri pengolahan menduduki posisi tertinggi dengan saldo US$ 64,3 miliar pada akhir Maret 2024, didorong oleh kebutuhan pendanaan impor bahan baku dan ekspansi pasar global. Di urutan kedua, jasa keuangan dan asuransi menyumbang US$ 52,1 miliar, seiring peningkatan penerbitan obligasi global dan kredit sindikasi untuk memenuhi ketentuan likuiditas. Sementara itu, sektor pengadaan listrik dan gas mencatatkan saldo US$ 28,7 miliar, seiring implementasi proyek pembangkit berbasis energi terbarukan dan infrastruktur pipa gas yang mayoritas menggunakan skema project finance. Pertambangan dan penggalian menyumbang US$ 19,4 miliar, didominasi oleh pendanaan pengembangan smelter nikel dan fasilitas pascatambang. Konsentrasi utang pada empat sektor ini, menurut analis, mencerminkan orientasi ekspor sekaligus intensitas modal yang tinggi, namun sekaligus memunculkan risiko apabila harga komoditas turun drastis atau terjadi shock geopolitik yang memengaruhi mata rantai pasokan global.
ULN Kokoh: Struktur Keuangan Terjaga Stabil
Pencerminan kestabilan tersebut tampak pada posisi rasio utang luar negeri (ULN) Indonesia yang tercatat sebesar 30,0 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Agustus 2025, angka yang hampir identik dengan posisi Juli 2025 sebesar 29,9 persen. Stabilitas ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ULN sejalan dengan ekspansi ekonomi nasional, sehingga mempertahankan tingkat ketergantungan utang yang terkendali. Lebih jauh, struktur ULN Indonesia terus didominasi oleh instrumen jangka panjang yang mencapai 85,9 persen dari total utang, dominasi ini memberikan ruang fiskal yang lebih longgar mengingat beban pembayaran pokok dan bunga dapat disebar dalam jangka waktu yang lebih panjang, sekaligus menekan risiko likuiditas jangka pendek.
“Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” tutup Denny. Ia menekankan bahwa setiap langkah kebijakan yang diambil telah melalui simulasi stres secara menyeluruh terhadap berbagai skenario, termasuk gejolak pasar keuangan global, penurunan daya beli domestik, hingga potensi pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, koordinasi antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan terus diperketat guna memastikan respons kebijakan yang tepat sasaran, berkelanjutan, dan tidak menimbulkan distorsi di sektor riil. Denny juga menegaskan bahwa pemantauan terhadap indikator makroekonomi—mulai dari cadangan devisa, inflasi, hingga rasio utang luar negeri—dilakukan secara harian, sehingga intervensi dapat segera dilakukan bila terjadi penyimpangan yang berpotensi menggangu stabilitas sistem keuangan nasional.