IHSG Menguat 0,56% ke 8.144 di Pembukaan, 306 Saham Hijau – Market Update 29 Sept

IHSG Menguat 0,56% ke 8.144 di Pembukaan, 306 Saham Hijau – Market Update 29 Sept

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan Selasa (29/9) di zona hijau, menguat 0,56% ke level 8.144,99—tertinggi sejak 9 Agustus lalu—setelah Wall Street mengakhiri September dengan reli ketiga beruntun dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) Oktober dipatok USD 79,28 per barel, memberi angin segar pada sektor energi. Penguatan ini didukung 306 saham naik versus 99 saham turun pada pembukaan, menunjukkan breadth positif 3:1 yang biasanya menandakan participasi luas; investor ritel bisa mengawasi apakah aksi beli akan bertahan di atas resistance psikologis 8.150, sebab konsistensi volume di atas rata-rata 20 hari akan menjadi konfirmasi bahwa sentimen risk-on masih terjaga. Apabila rupiah terus menguat di bawah Rp15.300 per USD dan yield SUN 10-tahun terus turun, potensi kenaikan bertahap menuju 8.200 tetap terbuka—tetapi waspadai profit-taking jika Wall Street malam ini kembali tertekan data inflasi PCE. Mari kita selidiki sektor mana yang paling banyak menyerap aliran dana pagi ini.

IHSG membuka perdagangan Senin dengan kenaikan 0,56% ke 8.144, didorong oleh aksi beli selektif di sektor konsumsi dan pertambangan yang menyerap aliran dana asing masuk ke Asia Tenggara; investor lokal masih berhati-hati menanti data inflasi September dan keputungan BI soal suku bunga, sehingga 306 saham naik—terbatas pada emiten berfundamental kuat—sementara 238 lainnya tertekan oleh profit-taking di saham second liner. Sentimen positif ini juga tertopang oleh penguatan rupiah ke level Rp15.360/US$ serta harga batubara Acuan HBA yang bertahan di atas US$150/ton, memberi ruang bagi perbankan dan emiten energi untuk melanjutkan rebound. Artinya, pasar masih menyediakan peluang trading terbatas dengan rasio risk/reward terkendali; mari kita telusuri sektor mana yang paling menjanjikan di paragraf berikutnya.

  • IHSG naik 0,56% ke 8.144 di pembukaan, didorong oleh 306 saham hijau; sentimen positif dari pelemahan USD dan rally minyak mentih mendorong akumulasi di sektor energi & konsumsi, sehingga investor bisa mengincar saham-saham blue-chip yang baru breakout sambil tetap pasang stop-loss ketat mengingat RSI sudah mendekati 70.
  • Depresiasi rupiah di kisaran Rp16.775/USD menekan sektor impor, tapi memperkuat komoditas berorientasi ekspor—konsiderasi seimbang untuk menahan rotasi ke emiten batu bara, CPO, dan logam dasar.
  • PMI manufaktur Indonesia Agustus di 48.9—kontraksi kedua bulan beruntun—sehingga hasil September hari ini bisa jadi katalis; bacaan >50 biasanya dorong sektor manufaktur naik 0.3-0.5% dan mengangkat saham infrastruktur & otomotif.

Pada perdagangan Kamis (29/9), IHSG mengawali sesi pertama di zona hijau, melomak 0,56% ke 8.144,99 didorong aksi beli selektif di emiten berkapitalisasi besar. Penguatan ini memperpanjang reli teknis tiga hari beruntun, namun volume masih tipis—sebagai peringatan agar investor tetap waspada terhadap potensi sentimen global yang bergejolak. Sentimen positif dari bursa regional, rebound harga komoditas, serta aliran dana asing yang kian stabil menambah asupan likuiditas, tetapi ketidakpastian suku bunga The Fed dan pelemahan rupiah di kisaran Rp15.400 masih menjadi “pengawal” untuk melangkah agresif. Bagi ritel, momentum ini bisa dimanfaatkan untuk mengintip saham-saham infrastruktur dan pertambangan yang mulai menembus resistance pendek, selalu dengan risikio terkendali via cut-loss. Mari kita telusuri sektor mana saja yang berkontribusi paling besar terhadap lompahan indeks ini.

Liquiditas yang tercatat Rp407,6 miliar pada 54 ribu frekuensi menunjukkan minat selektif—bukan euforia massal—karena investor masih menimbang sentimen global (yields AS di 4,5%) dan aksi profit taking sektor pertambangan pasca penguatan harga komoditas. Rasio 726 juta lembar saham terhadap frekuensi tersebut—sekitar 13.400 lembar per transaksi—menegaskan dominasi penjualan ritel berukuran kecil, sehingga potensi rebound tergantung pada apakah asing kembali masuk di sesi kedua setelah kemarin masih net sell Rp280 miliar. Apakah arus dana asing yang tertahan ini akhirnya berbalik, atau justru pelemahan lanjutan muncul dari aksi jual institusi lokal?

Dengan rasio kenaikan-ke-turunan hampir 5:1, sentimen risk-on masih bertahan di pagi hari, didukung aliran dana asing yang kembali netbuy sejak akhir pekan lalu. Investor tampaknya menangkap sinyal pelemahan USD/IDR di bawah Rp15.400—yang menurunkan tekanan valuasi—sementara sektor pertambangan dan consumer goods menjadi motor penguatan setelah harga komoditas global memperbaiki outlook pendapatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pelaku pasar sedang menyeleksi saham berfundamental kokoh; namun, tetap penting mengawasi risiko geopolitik dan hasil rapat The Fed pekan depan yang bisa mengubah arus modal. Jadi, apakah penguatan tadi cukup kokol untuk bertahan hingga penutupan, atau justru jebakan reli jangka pendek?

Meski IHSG akhirnya membuka zona hijau, sentimen sebelumnya cukup berat: Federal Reserve mempertahankan suku bunga tinggi, pelemahan yuan China kembali muncul, dan arus dana asing masih mencatatkan net sell di pasar regular. Ratih Mustikoningsih, Financial Expert Ajaib Sekuritas, menilai level 7.950-8.100 tetap menjadi pijakan penting karena di titik itu IHSG berpotensi menemukan dorongan beli dari value hunter, sekaligus menahan tekanan jual jika rupiah kembali terdepresiasi. Bagi investor ritel, pantau kestabilan rupiah di kisaran Rp15.400-15.450/US$ serta volume beli emiten consumer dan infrastruktur; dua sektor itu kerap berperan sebagai “penahan” indeks ketika bank sentral global masih bertarung dengan inflasi. Apakah rebound pagi ini cukup kokoh untuk bertahan hingga penutupan? Mari soroti delapan emiten paling ramai berikutnya.

Setelah menutup pekan lalu di zona hijau, IHSG kembali mengayun: dari level 8.099 per 26/9, pelaku pasar kini menatap support 7.950 sebagai batas psikologis. Sentimen global—khususnya imbal hasil UST 10-yr yang masih nangkring di atas 4%—membatasi ruang naik, sementara aliran dana asing yang masih net-sell sejak awal September menambah tekanan. Di sisi lain, aksi beli investor lokal pada 306 saham di pembukaan menunjukkan bahwa sentimen domestik masih cukup kuat untuk menahan gejolak. Bagi investor ritel, penting untuk tidak tergesa-gesa menambah posisi sebelum IHSG mengkonfirmasi break di atas 8.150; justru pantau pola rebound yang bertahan di atas 8.000 karena level itu dapat menjadi batu loncatan jika tekanan jual asing mereda. Bagaimana taktik sektoral yang bisa diterapkan di tengah rentang sempit ini?

Faktor Penggerak IHSG Pagi Ini: Sentimen Global & Regional

Penguatan awal IHSG 0,56% hari ini tampaknya masih berlanjut dari sentimen positif pekan lalu, ketika foreign buy Rp 5,09 triliun mendorong indeks naik 0,60%. Fokus investor kini beralih ke data realisasi belanja pemerintah September, kebijakan suku bunga BI, serta arus dana asing pasca-pengumunan Fed—tiga faktor yang akan menentukan apakah reli dapat bertahan hingga akhir kuartal. Dengan 306 saham sudah bergerak hijau di pembukaan, mari kita telusuri sektor mana yang benar-benar memiliki ruang sustain dan di mana risiko profit-taking mengintai.

Perhatian investor kini kembali tertuju ke emiten konglomerasi—khususnya Grup PP dan Bakrie—yang berhasil menjadi penyangga utama IHSG pekan lalu, saat rupiah masih tertekan di kisaran Rp16.775 per dolar AS. Penguatan saham-saham tersebut menunjukkan bahwa sebagian big player masih melihat peluang dari sentimen domestik, terlepas dari tekanan nilai tukar. Apabila tren rebound rupiah berlanjut seiring likuiditas September mereda, kemungkinan besar momentum kenaikan di sektor ini bisa ikut berkelanjutan—tentu dengan catatan tidak ada gejolak baru dari pasar global. Mari kita soroti sektor berikutnya yang mulai menarik perhatian dana asing.

Pergerakan dana asing yang mencairkan SBN dan SRBI sebesar Rp7,2 triliun pada akhir pekan lalu sebenarnya bukan isyarat panik, melainkan realokasi wajar menjelang akhir kuartal III: investor institusional cenderung men-locking profit di surat utang untuk menaikkan cash ratio, sekaligus menyiapkan dana segar jika IHSG kembali terkoreksi di kisaran 8.000–8.050. Bagi ritel, arus keluar ini justru membuka celah entry di SUN benchmark 10-yr yang yield-nya bergerak ke zona 6,70–6,75%; hati-hati jika level tersebut tembus, karena bisa menarik kembali algoritma global yang selama ini underweight Indo bonds. Sentimen taktis ini akan teruji di sesi siang—apa lagi jika rupiah masih bertahan di bawah Rp15.400/USD—dan bisa menjadi katalis rotasi dana dari asing yang masih parkir di SBN menuju saham-saham second liner yang belum overbought. Pertanyaannya, sektor mana yang siap menampung alih-alihan itu?

Selain tekanan dari pelemahan rupiah, investor juga mencermati lonjakan biaya proteksi terhadap risiko gagal bayar Indonesia: Credit Default Swap (CDS) 5-tahun naik ke 83,18 bps pada 25 September dari 69,59 bps enam hari sebelumnya. Kenaikan ini—meski masih di bawah level 100 bps yang dianggap “aman”—menandakan ketidakpastian global mulai memengaruhi persepsi risiko emerging market. Bagi ritel, sinyal ini bisa memicu aksi “wait and see” di sektor berbasis dolar seperti bank, telekomunikasi, dan emiten energi; namun di sisi lain, potensi aliran dana asing yang terhambat justru membuka ruang bagi pembelian lokal pada saham-saham consumer dan infrastruktur yang notabene lebih sedikit ketergantungan terhadap utang luar negeri. Bagaimana sentimen tersebut akan berlanjut hingga penutupan hari ini?

Investor hari ini akan fokus pada dua data penting: PMI Manufaktur Indonesia dan inflasi September. Jika PMI mempertahankan level di atas 50, sektor manufaktur bisa jadi pendorong baru IHSG setelah sepekan diombang-ambing oleh aksi ambil untung. Sinyal ekspansi juga bisa meredam kekhawatiran terhadap pelemahan Rupiah, karena menunjukkan permintaan domestik masih solid. Namun, waspadai risiko kejutan: bila inflasi naik di luar ekspektasi, Bank Indonesia akan punya sedikit ruang untuk menurunkan suku bunga, dan sentimen “risk-on” bisa berbalik cepat. Untuk itu, pantau pergerakan sektor konsumsi dan otomotif yang paling sensitif terhadap tekanan harga—di sinilah biasanya peluang trading jangka pendek muncul lebih dulu.

Pergerakan terbatas Wall Street pada penutupan pekan lalu mencermati tekanan deadline anggaran AS (30 September) yang masih belum final, memicu aksi wait-and-see investor global. Bagi IHSG, sentimen itu berperan sebagai penahan laju karena dana asing cenderung menahan diri menanti kepastian, meski di dalam negeri 306 saham sudah hijau di pembukaan. Apabila Kongres AS berhasil sepakat di menit-menit akhir, risiko shutdown berkurang dan aliran dana kembali ke emerging market—termasuk Indonesia—bisa menguatkan indeks sepanjang hari; sebaliknya, kegagalan bisa memicu profit-taking jangka pendek. Bagaimana respons investor domestik dan arus dana asing lebih lanjut? Mari simak pergerakan sektor unggulan berikut ini.

Tekanan politik di Washington—di mana Kongres belum menyetujui usulan anggaran Presiden Trump—berpotensi memicu aksi mencari aset berisiko rendah (risk-off) di pasar global. Bagi IHSG, sentimen negatif ini bisa meredupkan minat investor asing yang masih mencatatkan net sell sebesar Rp 1,3 miliar pada pembukaan hari ini. Namun, kekuatan beli di sektor konsumer dan pertambangan—yang berkontribusi pada 38% kenaikan saham hijau—menunjukkan bahwa dana lokal masih cukup aktif menahan volatilitas. Dengan rilis data inflasi Indonesia yang diharapkan stabil, pelaku pasar kini menantukan apakah tensi fiskal AS akan memaksa The Fed mempercepat pemangkasan suku bunga, sebuah skenario yang berpotensi mengalirkan kembali dana ke pasar berkembang termasuk Indonesia. Bagaimana respons sektor perbankan dan emiten berkapitalisasi besar lainnya terhadap dinamika ini?