IHSG Anjlop 1% di Pembukaan, Koreksi Wall Street Dorong Sentimen Jual

IHSG Anjlop 1% di Pembukaan, Koreksi Wall Street Dorong Sentimen Jual

IHSG kembali terkoreksi 1% ke level 8.171 pada pembukaan Senin (13/10), menyerap tekanan jual yang mengalir dari Wall Street setelah data inflasi AS memicu spekulasi kenaikan suku bunga jangka panjang. Laju penurunan ini memperpanjang koreksi minggu lalu -2,8% sekaligus menorehkan level terendah sejak awal September, menandakan risk-off masih dominan di pasar. Sektor pertambangan dan properti menjadi penekan utama—masing-masing turun lebih dari 1,5%—karena investor memangkas papuhan saham ber-beta tinggi. Bagi ritel, kondisi ini membuka peluang gradual-buy di saham-saham konsumer yang fundamentalnya masih solid; namun disarankan menahan posisi hingga tanda rebound terkonfirmasi. Apakah sentimen negatif akan berlanjut, atau justru level ini menjadi titik balik?

IHSG membuka sesi Rabu dengan pelemahan 1% setelah Wall Street kembali tertekan, menandai bahwa tekanan risk-off global masih menggema di Bursa Efek Indonesia. Investor ritel perlu mencermati bahwa koreksi Nasdaq tengah mendorong aliran dana keluar dari aset berisiko Asia, sementara aksi ambil untung jelang libur Natal mempercepat penjualan di lantai bursa. Tekanan ini berpotensi berlanjut jika Rupiah masih terdepresiasi di atas Rp15.600/US$—level yang bisa memicu program penjualan otomatis dari reksa dana saham—sehingga menit-menit awal ini menjadi krusial untuk menilai apakah support psikologis 7.100 akan bertahan. Mari selidiki lebih dalam: apakah pelemahan tadi pagi hanya respons sementara, atau awal dari koreksi yang lebih dalam?

  • IHSG anjlok 1,04% di 8.171,80 di tengah tekanan Wall Street; pelaku pasar bisa manfaatkan aksi beli selektif pada saham fundamental kokoh yang terkoreksi, sambil menunggu sentimen rebound.
  • IHSG merosot 1% di pembukaan karena Wall Street terseret isu tarif impor Trump; investor sebaiknya pantau level support 730-735 karena pelemahan tajam di awal sesi bisa jadi momen entry jika rebound terjadi di tengah sesi dengan volume tinggi.
  • Bank sentral global yang lebih hawkish memaksa rebalancing portofolio ke efek pendapatan tetap, sehingga aliran dana asing dari IHSG kemarin sebesar Rp 1,2 miliar masih berisiko berlanjut hari ini; manfaatkan level support 6.850–6.880 untuk mengumpulkan saham kontraktif berdividen tinggi secara bertahap.

IHSG terjun 1% di pembukaan hari ini—saham-saham LQ45 seperti BMRI dan TLKM langsung tertekan—seiring sentiment negatif dari Wall Street yang mengkhawatirkan investor domestik. Koreksi perdagangan Amerika Serikat tadi malam, didorong oleh lonjatan yield obligasi 10-tahun AS di atas 4,8%, memicu risk-off di pasar global; aliran dana asing pun berpotensi kembali keluar dari emerging market, termasuk Indonesia. Bagi investor ritel, level support psikologis 8.150 patut dijaga: jika jebol, tekanan jual bisa memperlebar koreksi hingga ke kisaran 8.050. Di tengah volatilitas ini, alokasi bertahap ke sektor konsumsi dan telko yang cash-flow-nya stabil bisa jadi penyangga portofolio, sementara sentimen penguat dari rupiah dan suku bunga BI akan menjadi katalis berikutnya. Bagaimana strategi entry jika IHSG bertahan di atas support? Simak tiga skenario yang perlu Anda siapkan.

Volume transaksi pembukaan hari ini mencapai 695,74 juta lembar saham dengan nilai Rp 568,20 miliar—angka yang masih 18% di bawah rata-rata 20 hari terakhir—sehingga menegaskan bahwa aksi jual lebih didorong oleh rilis sentimen global ketimbang tekanan likuiditas lokal. Frekuensi perdagangan yang hanya 82 ribu kali juga menunjukkan bahwa sebagian besar investor ritel masih menahan diri menunggu level entry yang lebih menarik; jika indeks berhasil mempertahankan support 6.950 pada sesi I, dorongan rebound dari short-covering bisa mengangkat saham-saham papan utama. Mari kita periksa sektor mana yang pertama menunjukkan tanda pembalikan.

Dibandingkan aktivitas jual di Wall Street semalam—di mana S&P 500 turun 1,2% dan Nasdaq 1,4%—bursa Indonesia membuka dengan tekanan yang relatif terbatas: 327 emiten berada di zona merah, 72 berhasil berbalut hijau, dan 234 stagnan. Pola ini mengisyaratkan bahwa aksi profit-taking masih selektif; investor cenderung menahan diri dari panic-selling kecuali di sektor yang sudah jenuh naik minggu lalu. Jika rupiah terus bergerak di bawah Rp15.700/US$ dan yield Treasury 10-tahun AS kembali menembus 4,5%, risiko koreksi lanjutan tetap mengintai. Kita perlu menelusuri di sektor mana tekanan paling besar, serta apakah dana asing mulai men-churn portofolio secara besar-besaran.

Dalam pembukaan perdagangan hari ini, IHSG langsung terdorong ke zona merah seiring tekanan dari Wall Street yang berlangsung hingga penutupan, memicu aksi profit taking di sektor unggulan seperti bank dan komoditas. Fanny Suherman, Head of Retail Research BNI Sekuritas, menekankan bahwa koreksi teknikal ini wajar setelah reli beruntun, terutama jika indeks terus berada di bawah level support 7.250. Bagi investor ritel, momentum ini bisa dimanfaatkan untuk menata ulang portofolio: pastikan cash ratio cukup, perhatikan volume transaksi sebagai sinyal konfirmasi, dan waspadai gejolak nilai tukar yang potensial memperbesar volatilitas. Apa saja sektor yang masih menarik meskipun sentimen global menahan nafas?

Investor ritel perlu bersiap kembali menghadapi tekanan jual di awal sesi, setelah bursa AS terekspos sentimen risk-off baru: lonjakan impor China yang menabrak tarif Donald Trump efektif 1 November 2025. Aliran dana asing yang tengah mengevaluasi ulang alokasi di emerging market—termasuk Indonesia—membuat IHSG berpotensi menyentuh kembali zona support psikologis 8.000-8.150, sambil menguji ketahanan resistance 8.270-8.300. Volume transaksi awal yang tipis menjadi kunci: bila beli bertahan di atas Rp 8 triliun, peluang rebound terbuka; sebaliknya, level 8.000 bisa kembali diuji sebelum tengah hari. Bagaimana strategi menahan volatilitas sambil mengamankan posisi? Simak tiga skenario berikut.

Sentimen negatif dari Wall Street yang berimbas ke IHSG pagi ini berakar pada eskalasi retorika perdagangan AS–China: ancaman tarif impor tambahan oleh Presiden Trump terhadap produk China — sebagai respons pembatasan ekspor tanah jarang Beijing — memicu aksi profit-taking di sektor teknologi dan manufaktur, dua kelompok yang selama ini paling sensitif terhadap fluktuasi arus modal global. Bagi investor ritel, tekanan awal seperti ini kerap menjadi kesempatan untuk menyeleksi saham-saham domestik yang fundamentalnya masih solid namun tertekan sentimen, terutama di konsumsi dan perbankan yang relatif berkurang ketergantungannya pada rantai pasok internasional. Mari kita lihat seberapa dalam koreksi ini bisa terjadi sebelum pelaku pasar menemukan titik keseimbangan baru.

Kabar bahwa Donald Trump sedang mempertimbangkan tarif impor besar-besaran untuk China kembali menyeruak, memicu sentimen negatif di pagi perdagangan Asia. Bagi emiten-emiten Indonesia yang mengandalkan bahan baku China—mulai dari elektronik hingga logam industri—potensi biaya impor naik bisa meremas margin, sehingga cepat dicoret investor. Sektor konsumer dan properti yang masih mengimpor komponen bangunan pun turut terdorong, memperlebar tekanan di IHSG. Apalagi, jika tarif AS–China memanas, aliran dali asing berisiko kembali ke aset dolar, menambah pekerjaan rumah bagi emiten berkapitalisasi besar. Seberapa dalam dampaknya, dan bagaimana posisi portofolio Anda di tengah ketidakpastian ini?

Ketidakpastian soal pertemuan Trump-Xi memperkuat kekhawatiran bahwasanya tarif impor 10% ke China dan 25% ke Meksiko—yang dijadwalkan efektif 1 Februari—bisa dipicu lebih cepat. Bagi emiten-emiten Indonesia yang 30-40% materialnya masih diimpor dari China (tekstil, elektronik, sepatu), lonjakan biaya produksi mulai diperhitungkan kembali oleh analis, sehingga aksi ambil untung di sektor consumer discretionary kembali terlihat pagi ini. Sementara itu, aliran dana asing cenderung parkir di dollar AS sebagai safe haven, menekan nilai tukar rupiah dan menambah tekanan pada saham-saham berbasis impor—mengapa sebaiknya investor tetap waspada pada volatilitas lanjutan?

Serangan jual di Wall Street tengah berlangsung: Dow Jones terjun 1,90 persen, S&P 500 merosot 2,71 persen, dan Nasdaq ambruk 3,56 persen seiring kekhawatiran investor global terhadap prospek kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif. Tekanan ini langsung tercermin di pembukaan IHSG yang merosot lebih dari 1 persen, karena dana asing cenderung ‘risk-off’ dari pasar berkembang. Bagi investor ritel, momentum ini bisa jadi kesempatan untuk menilik kembali portofolio—terutama saham-saham yang fundamentalnya tetap kokoh namun terbawa arus penjualan. Apa saja sektor yang masih bertahan, dan bagaimana strategi entry yang bijak di tengah turbulensi? Simak selengkapnya di bawah ini.

Kebijakan Beijing yang baru memperketat ekspor mineral strategis—termasuk tanah jaring yang menjadi bahan baku motor listrik, turbin angin, dan komponen smartphone—berpotensi mendorong biaya produksi global naik 5–15% dalam tiga bulan ke depan, sehingga emiten manufaktur Indonesia yang mengandalkan impor, mulai dari produsEN baterai mobil hingga pabrik elektronik, bakal menekan margin untuk kuartal berikutnya; investor perlu mengalokasikan ulang ke sektor yang lebih sedikit terpapar harga bahan baku, seperti perbankan atau konsumer, sementara menunggu keputusan subsidi energi dalam negeri yang diperkirakan akan muncul pekan depan.

Tekanan jual di Wall Street tengah menular ke Asia, termasuk Indonesia. Investor menilai ulang posisi setelah seruan “soft-landing” ekonomi AS mulai dipertanyakan; imbal hasil Treasury 10-tahun yang kembali naik memicu aliran dana ke aset berisiko rendan dan menghimpit harga saham di kawasan ini. Di tengah ketidakpastian tersebut, IHSG merosot di pembukaan karena sektor unggulan—bank dan konsumsi—jadi sasaran profit-taking, sementara pelemahan rupiah pekan ini menambah kekhawatiran atas tekanan impor dan aliran modal. Bagi ritel, ini adalah momentum untuk mengecek ulang portofolio: apakah fundamental emitmen pilihan masih solid atau hanya terbawa turbulensi jangka pendek? Simak sektor mana yang berpotensi menjadi lantai penopang di sesi berikutnya.

Sentimen pelemahan tengah menyebar dari Wall Street ke Bursa Tokyo: Nikkei 225 turun 1,01% dan Topix merosot 1,85% karena kembali meningginya imbal hasil obligasi AS memicu aksi profit-taking pada saham teknologi. Di tengah arus risk-off tersebut, Korea Selatan justru tampil beda—Kospi naik 1,73% dan Kosdaq 0,61% pasca-libur panjang—dimana investor lokal memanfaatkan harga yang menarik di saham baterai dan chip. Perbedaan arah ini menunjukkan bahwa dana regional belum sepenuhnya keluar dari Asia, melainkan bergeser selektif; oleh karena itu, peluang rebound di IHSG tetap terbuka jika sektor unggulan dalam negeri seperti konsumsi dan bank mampu menahan tekanan jual. Bagaimana investor ritel memposisikan diri di tengah gejolak ini?

Data pagi ini menunjukkan tekanan risk-off masih menggelayuti kawasan Asia-Pasifik: Hang Seng terbenam 1,73% karena investor memburuknya prospek ekonomi Tiongkok, sementara Shanghai Composite ikut melemah 0,94% setelah bank sentral China masih memilih menahan stimulus besar. Sentimen serupa menyusup ke Australia—ASX 200 merosot 0,13% karena harga komoditas dasar melemah—dan ke Singapura serta Malaysia yang sama-sama terkoreksi di kisaran 0,3–0,5%. Korelasi negatif ini memperkuat dugaan bahwa aliran dana asing kemungkinan kembali mengalihkan aset ke safe haven, sehingga IHSG berpotensi terus tergerus meski fundamental domestik relatif stabil. Dengan rupiah yang masih hover di atas Rp15.600 dan yield US 10-year kembali naik, tekanan jangka pendek masih mengintai—apa saja langkah tepat yang bisa investor ritel tempuh di tengah gempuran ini?