
Bitcoin menembus level tertinggi baru di USD 125.687 pada pembukaan Oktober, menyalakan kembali euforia “Uptober” di kalangan trader lokal. Puncakan ini muncul beriringan dengan penguatan 4,8% indeks dolar AS sejak Senin lalu, menciptakan tekanan ganda bagi investor rupiah: harga BTC terlihat lebih mahal, sementara modal segar cenderung menunggu pullback. Bursa-bursa Indonesia mencatat volume spot BTC naik 21% dibandingkan rata-rata 30 hari sebelumnya, namun rasio order beli terhadap jual justru turun ke 1,3—sinyal bahwa sebagian pelaku ritel sedang manfaatkan momentum untuk realize profit. Dengan dominasi BTC kembali ke zona 59%, aliran dana ke altcoin lokal seperti ETH, ADA, dan SOL tampak terhambat, memperketat peluang rotasi yang biasanya menjadi katalis kedua pasca-ATH. Apakah penguatan ini bakal bertahan, atau justru menjadi pintu masuk gelombang koreksi Oktober? Mari soroti tiga faktor kunci yang akan menentukan arus balik kapital di pekan depan.
Bitcoin mencetak rekor tertinggi baru di kisaran US$ 125.600 pada pukul 09.45 WIB, mendorong kapitalisasi pasar kembali menembus level US$ 2,5 triliun. Puncak harga itu muncul setelah ritel Asia—termasuk Indonesia—menyerap tekanan profit-taking dari investor institusional, sehingga pullback sementara ke US$ 123.000 langsung dibeli. Dominasi BTC naik ke 58,3%, menyiratkan aliran dana keluar dari altcoin besar seperti ETH dan SOL; indeks altcoin-cap anjlok 4% dalam 24 jam, sementara volume BTC di bursa lokal Naik 18% dibanding hari biasa, menandai minat beli ritel yang belum terlunasi. Dengan RSI 4-jam masih di 78, potensi koreksi masih mengintai; mari kita telusuri level kunci serta risiko likuiditas di paragraf berikutnya.
- Bitcoin (BTC) mencetak rekor tertinggi baru di USD125.687 pada 5 Oktober 2025, naik lebih dari 8,5 persen sejak awal bulan.
- Dominasi BTC–ETH di 65% memicu “flight-to-quality”, sehingga aliran dana ke altcoin tier-2 tertunda; trader jangka pendek bisa manfaatkan gap ini dengan swing ke BTC pair yang likuiditasnya masih tipis.
- Shutdown AS memicu lonjakan Bitcoin ke ATH baru karena investor menganggap BTC “safe haven” digital; catat level $125.687 sebagai resistance psikologis berikutnya yang perlu diuji untuk konfirmasi tren bullish berkelanjutan.
Dengan menembus level psikologis di atas USD 125.000 pada 5 Oktober dini hari WIB, Bitcoin mengukuhkan tren penguatan yang sudah terbentuk sejak The Fed mulai membicarakan pelonggaran suku bunga September lalu; bagi investor ritel di Indonesia, momentum ini sekaligus menaikkan kapitalisasi pasar BTC di bursa lokal—dalam rupiah—mencerminkan imbal hasil tahunan yang jauh melampaui IHSG maupun deposito, namun volatilitas harian masih berfluktuasi 5-7%, sehingga penempatan alokasi portofolio perlu tetap disesuaikan dengan profil risiko masing-masing. Mari kita telusuri faktor pendorong di balik reli ini serta memetakan level-level kunci yang menjadi titik perhatian trader dalam jangka pendek.
Relief dari sentimen risk-on global—didukung pelemahan DXY di bawah 103,5 dan lonjakan indeks S&P 500 ke teritori tertinggi baru—berperan besar mendorong Bitcoin menembus level psikologis Rp 1,9 miliar. Di tengah likuiditas IHSG yang masih tertekan, banyak investor ritel Indonesia beralih ke kripto sebagai “beta play” cepat: data DART dari BEI menunjukkan peningkatan arus keluar reksa dana saham mingguan, sementara exchange lokal mencatat volume spot BTC naik ganda dalam tiga hari. Meski “Uptober” sering dikaitkan dengan seasonality positif, kali ini ada faktor mikro baru: (i) diskon premi Grayscale Bitcoin Trust yang menyempit ke 13%, memancing arbitrase institusional; (ii) spekulasi ETF spot BTC AS yang kembali memanas setelah pengajuan amandemen BlackRock; serta (iii) penurunan suku bunga acuan Tiongkok yang mempercepat aliran modal ke aset berisiko Asia. Bagi trader lokal, resistance berikutnya berada di area Rp 1,98 miliar—konsensus cluster CVD pada orderbook bursa domestik—sedangkan support dinamis mengikuti 20-EMA harian di Rp 1,82 miliar. Sebelum memasang posisi tambahan, pantau terlebih dahulu apakah RSI 4H akan membentuk hidden bearish divergence; bila tidak, momentum bisa berlanjut. Bagaimana strategi aman mengejar pergerakan ini tanpa terperangkap FOMO?
Selama 24 jam terakhir, Bitcoin berhasil menembus rekor tertinggi baru di kisaran USD 125.687 (sekitar Rp 2,08 miliar) sebelum menetap di USD 123.350, naik 0,98%. Penguatan ini menegaskan dominasi BTC yang kini mencapai 56,8% dari total kapitalisasi kripto—level tertinggi sejak April 2021—sekaligus menekan altcoin besar seperti ETH dan SOL yang masih tertahan di area resisten. Bagi investor ritel Indonesia, gejolak ini menciptakan peluang trading jangka pendek, terutama bila Rupiah masih stabil di Rp 16.800/USD sehingga biaya entry relatif terjangkau. Namun, waspadai potensi koreksi 5-8% pasca-ATH, mengingat funding rate sudah positif beruntun tiga hari; alokasi dana segar bisa ditunda hingga terbentuk higher low di zona USD 118.000-Rp 120.000. Bagaimana strategi aman menangkap peluang berikutnya saat dominasi BTC mulai “membanting” altcoin? Simak pemetaan level kunci pada paragraf berikutnya.
Dominasi Bitcoin—yang mencerminkan seberapa besar porsi BTC dalam total nilai pasar kripto—hari ini tercatat 59,35%. Meski angka ini masih di atas level 50% sejak awal 2024, kenaikannya tidak berjalan seiring penguatan harga: kapitalisasi keseluruhan pasar justru terkoreksi 0,80% ke US$4,14 triliun, menandai netral-risk-off di tengah sentimen global yang menunggu keputusan suku bunga The Fed pekan depan. Bagi investor ritel lokal, sinyal ini menegaskan bahwa aliran modal masih “berkonsolidasi” ke Bitcoin sebagai aset safe haven relatif, sementara altcoin L1/L2—termasuk beberapa token DeFi populer di Indonesia—belum memperoleh traksi. Perhatikan juga: volume spot IDR pair di bursa-bursa dalam negeri turun 7–10% dibandingkan rerata 20 hari, sehingga peluang swing bisa muncul bila BTC.D turun kembali ke 57% dan altcoin mulai diver accumulation; sebaliknya, jika BTC.D bertahan di atas 60%, hati-hati terhadap rotasi cepat yang memicu profit-taking. Mari kita telusuri lebih dalam faktor apa saja yang bisa mendorong atau menahan BTC di teritori baru ini.
Pekan ini pasar kripto global kembali mencetak rekor, didorong Bitcoin yang menembus level psikologis baru. Di tengah pelonjakan tersebut, dominasi BTC—rasio kapitalisasi Bitcoin terhadap total pasar—naik ke kisaran 58%-59%, level tertinggi sejak April 2021, menunjukkan bahwa aliran dana masih lebih memilih “raja kripto” dibanding altcoin berisiko tinggi. Bagi investor ritel Tanah Air, fenomena ini menjadi sinyal bahwa sentimen belum beralih ke aset spekulatif; sebaliknya, Bitcoin dipandang sebagai “safe-haven” dalam kelas digital. Kuatnya permintaan spot—terlihat dari premium 1,5%-2% di bursa lokal selama 48 jam terakhir—sekaligus memperkecil peluang arbitrage, sehingga trader perlu mengevaluasi ulang target beli agar tidak terjebak di puncak. Apa langkah bijak berikutnya saat BTC sudah di wilayah tak terjelajah? Simak tiga skenario yang perlu Anda siapkan.
Kombinasi kapitalisasi Bitcoin dan Ethereum kini kembali menyentuh ambang 65% dari total pasar kripto global—level yang terakhir kali tercatat pada kuartal II-2021—dan menunjukkan bahwa aliran dana masih terkonsentrasi di aset paling likuid. Bagi investor ritel di Indonesia, pola ini berarti dua hal: pertama, spread bid-ask BTC/IDR di bursa lokal makin sempit sehingga biaya masuk-keluar posisi turun; kedua, altcoin lapis dua berbasis Rupiah (seperti BNB/IDR atau SOL/IDR) masih mengekor, memberi kesempatan entry pada diskon 5-8% jika tren berlanjut. Sebelum memutuskan apakah akan menaikkan exposure atau justru lock-in profit, mari kita cek dulu indikator on-chain yang jarang disorot: rasio supply yang diam di domesi > 1 tahun.
Shutdown pemerintah AS yang berlangsung sejak 1 Oktober 2025 mempercepat aliran modal ke aset kripto, karena indeks saham Dow Jones dan dolar AS tertekan, sementar Bitcoin—yang diperdagangkan 24 jam—justru jadi “pelabuhan” instan bagi investor global. Bagi trader ritel di Indonesia, sentimen ini terasa lewat lonjakan volume BTC/IDR di bursa lokal pada sesi Asia hari ini, seiring Rupiah kembali menyentuh Rp16.000/US$ dan menaikkan daya tarik hedging terhadap mata uang digital. Dengan dominasi BTC sudah di atas 58 %, alih-alih hunting altcoin, mayoritas kapital masih menunggu konfirmasi lanjutan; apakah level ini akan diuji sebagai support baru atau justru jadi pintu masuk koreksi. Bagaimana posisi ideal jika tren berbalik—dan di mana titik acuan stop-loss yang realistis untuk modal di bawah Rp50 juta?
Tekanan terhadap dolar AS yang kian meninggi—di tengah polemik utang pemerintah AS yang masih belum tuntas dan peluang penurunan suku bunga The Fed pada paruh pertama 2025—kian memperkuat narasi “debasement trades” yang disebut JPMorgan. Di pasar lokal, sentimen ini tercermin dari lonjakan volume beli Bitcoin di indeks Rupiah beberapa bursa besar Indonesia sejak awal pekan, menandakan peningkatan minat pelaku ritel untuk mengalihkan sebagian aset dari USD-based instruments ke kripto. Bagi investor yang selama ini menahan rupiah di rekening bank, gejolak ini sekaligus mengingatkan bahwa diversifikasi tidak hanya soal instrumen, tapi juga soal denominasi mata uang; pertanyaannya, apakah kenaikan tajam BTC akhir-akhir ini masih memberi ruang entry yang proporsional atau justru menjadi momen realokasi ke aset digital berkapitalisasi menengah? Simak faktor-faktor teknikal berikutnya yang kemungkinan akan menentukan arah aliran dana di minggu depan.
Menyusul sentimen global yang masih fluktuatif, sebagian investor ritel di Indonesia mulai mempertimbangkan diversifikasi ke aset yang secara historis dianggap tahan terhadap pelemahan nilai rupiah dan tekanan inflasi domestik. Bitcoin, yang kini berada di level tertinggi sepanjang masa, kembali masuk radar karena pergerakannya yang relatif independen dari IHSG dan suku bunga Bank Indonesia. Logam mulia—termasuk emas fisik yang mudah diakses di pasar lokal—juga menjadi alternatif karena liquiditasnya yang tinggi serta kebiasaan masyarakat Indonesia yang sudah mengenal investasi emas sejak lama. Meski demikian, volatilitas kripto tetap jauh di atas emas, sehingga alokasi portofolio perlu disesuaikan dengan profil risiko masing-masing. Bagaimana strategi alokasi yang paling ringkas agar tetap bisa ikut menangkap peluang tanpa terlalu terbebani oleh gejolak pasar?
Platform prediksi Polymarket memang menunjukkan sentimen mayoritas bahwa peluang shutdown AS berlangsung 10–29 hari masih tinggi; kondisi ini secara historis mendorong aliran dana ke aset yang dianggap “bebas politik” seperti Bitcoin. Bagi investor ritel di Indonesia, perlu dicermati bahwa lonjakan BTC ke ATH baru tidak hanya didorong ketidakpastian fiskal global, tapi juga oleh peningkatan permintaan dari institusi yang menganggap BTC lindung nilai terhadap risikko likuiditas dolar. Artinya, jika sentimen shutdown memanjang, tekanan terhadap indeks saham berbasis USD bisa terus berlanjut, sehingga porsi portofolio yang tadinya idle di Rupiah bisa mulai dicicil masuk ke pasar kripto—namun tetap dengan manajemen ukuran lot yang ketat. Sebagai langkah awal, pantau volume transaksi harian di bursa lokal: bila terjadi kenaungan dua kali lipat dalam tiga sesi berturut-turut, biasanya menandakan masuknya modal segar yang mampu menahan koreksi intraday, membuka peluang entry yang lebih menguntungkan setelah breakout terkonfirmasi. Berikutnya, mari kita telusuri level-level support kunci yang patut dijadikan patokan stop-loss agar posisi tetap aman bila tiba-tiba terjadi profit-taking besar-besaran.
