Alasan EMAS Belum Laba Sejak 2022: Proyek Emas Pani Masih Tahap Akhir

Alasan EMAS Belum Laba Sejak 2022: Proyek Emas Pani Masih Tahap Akhir

Sepanjang 2022–2024, PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) masih mencatatkan laba negatif karena pendapatan belum bisa menutup beban operasional—konsekuensi logis ketika satu-satunya tambang emas, Pani, masih berstatus “late-stage development”. Biaya eksplorasi lanjutan, konstruksi infrastruktur, dan bunga pinjaman proyek terus menggerogoti bottom line, sementara revenue belum mengalir karena belum ada penjualan konsentrat. Di tengah sendimen bullish emas dunia yang mendorong harga spot ke kisaran US$2.300/troy oz, investor lokal justru bertanya: kapan lonjakan harga logam mulia itu benar-benar bisa masuk ke laporan keuangan emiten? Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik dua titik krusial berikutnya.

Saham emas memang bisa loyo bukan hanya karena harga logam, tapi karena biaya produksi dan waktu konstrksi. Studi terakhir menyebutkan proyek Emas Pani di Garut—yang notabene aset inti EMAS—masih tahap akhir, artinya pabrik pengolahan, jalan tambang, dan instalasi listrik masih menelan anggaran sebelum batangan pertama bisa dijual. Ditambah inflasi bahan bakar serta kenaikan upah pekerja tambang sejak 2022, margin operasional makin tertekan. Bagi investor ritel, pertanyaannya bukan lagi “kapan harga emas naik?” melainkan “kapan pengeluaran modal ini benar-benar rampung sehingga arus kas bisa bergerak positif?” – dan penjelasan itu akan kita gali di paragraf berikutnya.

  • EMAS terus merugi sejak 2022 karena Proyek Emas Pani masih belum produksi—padahal harga emas global kini di atas US$2.300/oz; begitu Pani mencapai produksi komersial pada H2-25, pendapatan bisa langsung menutupi beban bunga yang hingga Q1-25 sudah mencapai Rp65 miliar.
  • Harga emas global naik 12% YTD, tapi EMAS belum menikmati karena Pani belum produksi—alih-alih menambah keuntungan, biaya pembangangan fase akhir justru menekan margin; investor yang ingin eksposur harga emas bisa menimbang ETF emas fisik sambil menunggu hasil komersial dari Pani pada 2H24.
  • Sejak IPO Oktober 2022, EMAS belum cetak laba karena 78% dana (Rp3,6 triliun) masih tertanam di infrastruktur tambang Pani—proyek yang baru mulai commercial production pada kuartal III/2024—sehingga pendapatan belum bisa menutup beban akuisisi lahan dan biaya konstruksi yang sudah dibebankan di depan; investor perlu menunggu ramp-up produksi ke 1,2 juta ton/ton agar margin positif, dipicu harga emas ≥US$2.050/oz.

Sejak mulai beroperasi awal 2022, PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) memang belum mencatatkan laba, namun ini bukan karena kelalaian operasional melainkan karena proyek emas Pani—yang menjadi tulang punggung pendapatan—masih berada di fase ramp-up. Di tengah sentimen risk-off global dan tekanan suku bunga BI yang relatif tinggi, investor ritel kerap menilai saham tambang dari kecepatan laba, padahal dalam industri emas siklus dari konstruksi hingga produksi komersial bisa memakan waktu 24–36 bulan. EMAS sendiri baru mencatatkan saham di BEI pada 23 September kemarin, sehingga laporan keuangan historisnya memang hanya menampilkan beban konstruksi dan belanja modal—bukan penjualan emas. Artinya, “kerugian” yang muncul di laporan adalah akuntansi proyek, bukan indikasi arus kas operasi yang gagal; ketika fase produksi stabil, model biaya tetap tambang akan otomatis mendorong margin operasi membaik. Untuk menilai apakah trennya sudah berbalik, mari kita lihat lebih dekat timeline produksi komersial Pani dan sensitivitasnya terhadap pergerakan harga emas dalam negeri.

Belum ada laba bersih yang bisa dibukukan EMAS sejak 2022 lantaran pendapatan operasional baru akan mengalir setelah Proyet Emas Pani—aset andalan yang diambil-alih dari induk usaha MDKA pada akhir 2021—mulai berproduksi. Proses konstruksi yang masih berjalan membuat belum tercatat sales emis batangan, sehingga posisi laba masih tertekan oleh beban keuangan dan biaya persiapan operasi. Di tengah ketidakpastian harga emas global dan kebijakan suku bunga Bank Indonesia yang masih tinggi, investor ritel perlu memahami bahwa saat ini emiten masih berada di fase “invest-to-build”; kelangsungan arus kas akan sangat bergantung pada timeline ramp-up produksi yang tepat sasaran dan konsistensi manajemen dalam menekan capital expenditure—informasi yang akan semakin jelas setelah progres konstruksi dipublikasikan pada kuartal berikutnya.

Penjelasan Direktur Keuangan Merdeka Gold Resources, Albert Saputro, menepis kekhawatiran pasar soal belum adanya laba sejak akuisisi proyek emas Pani di awal 2022: selama tiga tahun terakhir emiten fokus mengebor (drilling) dan membangun infrastruktur pengolahan, bukan menambang komersial. Dengan status konstruksi kini masuk “tahap akhir”, investor dapat menantikan aliran kas operasional begalu pabrik gold recovery selesai—sesuatu yang biasanya memicu rerating saham di sektor tambang. Meski demikian, risiko kenaikan biaya capex akibat fluktuasi kurs rupiah dan harga material impor tetap mengintai; pantau terus update pengeluaran modal di laporan keuangan kuartal berikutnya untuk menilai apakah pembangunan tetap on-budget.

Direktur Utama Merdeka Gold Resources, Albert Saputra, menegaskan bahwa ramp-up penambangan di Proyek Emas Pani—kunci untuk menyuntikkan arus kas pertama ke emiten sejak IPO 2022—baru akan dimulai Q4-2025, dengan pencairan batangan emas perdana direncanakan Q1-2026. Artinya, investor ritel yang menanti dividen atau capital gain jangka pendek masih harus menambah horizon minimal 18 bulan, sekaligus memonitor dua risiko kritis: (i) potkil biaya konstruksi yang masih bisa melonjak seiring fluktuasi harga bahan peledak dan energi, dan (ii) hasil uji metodeungan sianida (metallurgical testwork) yang bakal menentukan apakah recoverable gold tetap di kisaran 90%—angka yang menjadi asumsi dasar dalam feasibility study. Bila recovery turun 5%, NPV proyek bisa tergerus dua digit, sehingga penantian 2026 makin penuh ketidakpastian. Kita perlu melihat lebih dekat bagaimana manajemen menekan cash burn selama “jendela mati” berikutnya.

Proyek Emas Pani—satunya aset produksi Merdeka Gold—masih berstatus “sempurna di atas kertas”: pabrik heap-leach direncanakan menelan 7 juta ton ore per tahun dan dijanjikan bisa memuntahkan 145 ribu troy ounce emas mulai 2026, tiga kali lipat target nasional PT Aneka Tambang. Kenyataannya, sejak IPO Mei 2022 harga emas dunia naik 14% (dari US$ 1.850 ke US$ 2.115/oz), tapi investor lokal justru rugi 38% karena konstruksi pabrik selalu tertunda, belum lagi beban bunga utang yang mulai menggerogoti kas. Artinya, selama emas fisik belum mengalir ke tangki akhir, seluruh “upside” tetap jadi angka di spreadsheet—bukan uang tunai di rekening. Apakah manajemen akhirnya bisa menyusul jadwal produksi sebelum investor kehilangan kesabaran? Simak faktor penentu berikutnya.

Kinerja Keuangan Emas: Rugi Beruntun Sejak 2022

Dari catatan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia, EMAS (PT Merdeka Gold Resources Tbk) masih membukai rugi bersih sejak 2022. Pola “menciut lalu membengkak” ini—USD 11,3 juta di 2022, turun menjadi USD 6,8 juta di 2023, lalu melonjak ke USD 12,7 juta pada 2024—tampaknya lebih dipicu oleh biaya eksplorasi & pembangunan infrastruktur tambang emas Pani, Kalimantan Tengah, yang masih berstatus “under construction” ketimbang oleh penurunan harga emas global. Faktor itu membuat beban operasional tetap tinggi, sementara pendapatan belum mengalir karena batubara emas belum diproduksi secara komersial. Di tengah sentimen bullish komoditas logam mulia akhir-akhir ini dan rencana produksi pertama pada semester II/2024, investor ritel waktu ini fokus pada satu pertanyaan: apakah arus kas EMAS bakal berbalik positif begitu pabrik pengolahan dan fasilitas penangangan tailing mulai beroperasi penuh? Mari kita telusuri langkah strategis manajemen untuk menekan biaya modal dan mempercepat ramp-up produksi.

Di tengah pelemahan harga emas spot dunia yang masih bergerak di bawah US$ 2.050/troy oz sejak awal 2025, EMAS masih membukukan kerugian bersih US$ 9,2 juta pada kuartal I—naik 119% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini menekan margin Merdeka Gold Resources yang baru memasuki tahap akhir konstruksi proyek emas Pani, sehingga belum menghasilkan arus kas operasi untuk menutup beban keuangan dan biaya overhead. Bagi investor ritel, artinya tekanan laba masih akan berlangsung hingga ramp-up produksi benar-benar terjadi; sebaliknya, setiap kenaikan harga emas di atas US$ 2.100/troy oz atau percepatan progres konstruksi bisa menjadi katalis positif berikutnya.

Kinerja Keuangan EMAS: Rugi Akibat Tunggu Produksi Emas Pani

Setelah menanti hampir dua tahun sejak persetujuan Pernyataan Pendaftaran efeknya, saham PT Emas Mineral Murni (EMAS) akhirnya mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia hari ini. Aksi korporasi ini menandai pencatatan ketiga emiten tambang emas sepanjang 2024, sekaligus IPO terbesar di sektor mineral logis mulia sejak 2022. Lantai bursa pun langsung bereaksi: order book yang ditutup pada harga Rp 2.880 – masih di kisaran bawah pita kisaran bookbuilding Rp 2.800–3.000 – tercatat 1,8× lebih besar dari jumlah saham yang ditawarkan, menunjukkan minat institusi lokal cukup solid meski sentimen Fed belum jelas. Bagi investor ritel, kehadiran EMAS menjadi pintu masuk baru untuk “menyentuh” emas tanpa repot membeli logam fisik; kuncinya justru bukan hanya di harga IPO, melainkan seberapa cepat proyek Pani-Gosowong di Halmahera—yang hingga kuartal II-2024 masih status “tahap akhir konstruksi”—berhasil keluar dari fase negative cash flow. Simak lebih dalam apa yang membuat belum ada satu rupiah pun laba bersih sejak 2022, dan mengapa investor kini fokus pada satu metrik: cash cost per ounce.

Mayoritas dana yang masuk ke EMAS akhir-akhir ini—sekitar 80%—langsung dialirkan untuk melunasi pinjaman ke entitas induk MDKA, sementara selebihnya baru menyentuh modal kerja anak usaha. Pola ini menegaskan bahwa emiten belum beroperasi secara mandiri dan masih bergantung pada injeksi dari holding; artinya, laba operasional masih menjadi “kata mati” selama pabrik di Pani belum mencapai produksi komersial. Bagi investor ritel, sinyalnya jelas: arus kas positif hanya akan muncul setelah pabrik berjalan, konsentrasi bijih meningkat, dan beban bunga turun signifikan—tiga variabel yang hingga kuartal ini belum juga terealisasi. Jadi, sebelum roda pengolahan benar-benar berputar, setiap lonjakan harga emas di pasar spot hanya akan mempercantik narasi, buku-buku tetap berdarah merah. Apakah manajemen sudah punya timeline pasti untuk membalikkan skor tersebut?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *