
Dari sembilan bulan pertama 2025, BEI sudah mengantongi 11 calon emiten—jumlah yang setara dengan 35% total IPO sepanjang 2024—dengan dana yang direncanakan dihimpun Rp15,05 triliun. Lonjakan ini menunjukkan kepercayaan emiten terhadap iklim pasar domestik yang relatif stabil di tengah volatilitas global, sekaligus memberi kesempatan investor ritel menambah pilihan saham segar sebelum tekanan suku bunga BI masih berada di level 6%. Persoalannya, tidak semua nama dalam pipeline berasal dari sektor yang sama: mulai dari consumer goods, energi transisi, hingga layanan kesehatan digital, sehingga diversifikasi portofolio bisa dilakukan tanpa terlalu terbebani risiko sektoral. Kini tersisa dua hal yang patut dicermati: waktu pencatatan yang sering berubah karena proses penawaran, dan harga perdana yang belum tentu memberikan diskon menarik bila sentimen pasar tiba-tiba memanas. Karena itu, simak dulu profil masing-masing calon emiten sebelum mengunci dana.
Sebelirnya, BEI mengonfirmasi tercatat 11 perusahaan mengantri IPO sepanjang 2025—jumlah yang relatif flat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun cukup untuk menambah likuiditas setelah aksi korporasi besar dan buyback emiten blue-chip menyerap sebagian free-float di pasar reguler. Bagi investor ritel, aliran saham baru ini bisa jadi “valve” segar: pilihan sektor bakal lebih beragam, dari logistik, konstruksi, hingga layanan kesehatan, sehingga memperbesar peluang diversifikasi tanpa harus menunggu relaksasi lot size. Kuncinya, teliti prospektus saat book-building dibuka—perhatikan penggunaan dana, struktur utang, dan kapan lock-up insider berakhir—karena pengalaman 2019-2023 menunjukkan emiten yang langsung pakai sebagian besar dana untuk capex cenderung mengejar pertumbuhan laba lebih cepat, meski risiko eksekusi tetap mengintai. Setelah mengetahui profil masing-masing calon IPO, mari kita lihat sektor mana yang paling mungkin menjadi “pemberi beta” tinggi di kuartal I.
- 11 calon emiten baru di pipeline BEI 2025—terbanyak sejak 2017—diprediksi tambah Rp 45–60 triliun kapitalisasi & tingkatkan frekuensi trading harian sebesar 8–12 %, sehingga investor retail bisa manfaatkan potensi likuiditas lebih tinggi untuk entry/exit lebih cepat.
- Total dana Rp15,05 triliun dari 23 IPO tahun ini—setara dengan 94% keseluruhan di 2023—memberi sinyal bahwa lonjakan pipeline 2025 masih akan berlangsung; investor retail bisa manfaatkan “early-bird” allocation di bookbuilding terbuka untuk meminimalkan risiko oversubscribe yang semakin ketat.
- Rights issue Rp16,63 triliun menunjukkan emiten tengah gelar ekspansi berbiaya rendah—pemodal bisa manfaatkan discount-to-market untuk averaging-down, tapi cek dulu apakah dana dipakai memperkuat bisnis inti atau sekadar menambal utang.
Sebanyak 11 emiten baru masih terlihat mengantre di koridor BEI hingga pekan terakhir September 2025—jumlah yang relatif terbatas bila dibandingkan dengan gelombang IPO 2021-2022, namun cukup untuk menambah option investasi di tengah rangkaian aksi korporasi akhir tahun. Dengan IHSG yang baru saja menapak di zona hijau setelah tekanan jual asing, kehadiran sektor-sektor “baru” ini bisa menjadi katalis diversifikasi portof ritel, terutama bagi yang mulai melirik cerita pertumbuhan di luar emiten blue chip. Selain itu, pipeline yang masih tipis menandakan BEI masih berusaha menggenjot daya tarik pasar dengan menurunkan biaya listing dan mempercepat proses review—upaya yang penting untuk menahan potensi arus keluar dana asing jika The Fed masih teguh dengan hawkish stance-nya. Jadi, siapa saja calon emiternya, dan sektor mana yang paling siap merebut perhatian investor? Simak detailnya.
Angka Rp15,05 triliun yang berhasil dihimpun dari 23 perusahaan yang sudah go-public sepanjang 2025 menunjukkan bahwa minat emiten untuk mengakses pasar modal masih terjaga, meskipun sentimen global bergolak. Bagi investor ritel, aliran dana segar ini tidak hanya memperluas pilihan saham baru—yang umumnya datang dengan diskon harga penawanan—tapi juga menandakan bahwa BEI masih mampu menarik beragam sektor, dari consumer goods hingga energi transisi. Seringkali, aksi pasca-IPO menjadi barometer likuiditas: saham yang masuk indeks LQ45 atau IDX30 dalam satu-dua kuartal berikutnya cenderung diserap dana asing maupun reksa dana. Karena itu, menelusuri rekam jejak underwriter, struktur kepemilikan sebelum IPO, dan rencana utilisasi dana bisa menjadi saringan awal sebelum mengikuti pencatatan berikutnya—dalam hal ini masih ada 11 calon emiten yang menunggu giliran. Bagaimana sebaiknya menyusun strategi agar tidak terjebak harga “opening high” dan tetap memperoleh risk-reward yang proporsional?
Hingga penutupan kuartal III 2025, BEI telah menyerap Rp 15,05 triliun dari 23 perusahaan baru—angka yang sudah 78% dari total dana segar sepanjang 2024—sehingga daftar tunggu 11 emiten berikutnya menjadi “bonus” likuiditas yang bisa menyeimbangkan tekanan jual asing akibat kenaikan Fed rate. Bagi investor ritel, pipeline ini bukan sekadar daftar nama: setiap debut berpotensi menggeser bobot sektoral (bank digital, energi terbarukan, dan consumer-tech mendominasi) sehingga indeks LQ45 butuh “pengaturan ulang” yang seringkali menaikkan volatilitas harian 1,5-2× di 10 hari pertama pencatatan. Artinya, peluang flipping tetap ada, namun risiko gap turun juga meningkat bila sentimen global mendadak risk-off. Tepatnya, kira-kira emiten mana saja yang masuk radar dan bagaimana strategi menangkap discount listing-nya?
Dari keseluruhan calon emiten yang mengantri di BEI, sebagian besar berbasis consumer & digital—sektor yang tetap menarik minat meskipun IHSG bergerak sideways akhir-akhir ini; menyusul di belakangnya adalah perusahaan infrastruktur & transportasi yang berpotensi mendapat angin segar dari proyek strategis pemerintah, sementara emiten kesehatan & properti justru paling sedikit, seiring kekhawatiran atas kenaikan suku bunga dan daya beli yang belum pulih. Pola ini menunjukkan pelaku pasar masih berburu cerita pertumbuhan (growth story) dengan model bisnis yang relatif tangguh terhadap tekanan inflasi, sekaligus menjadi sinyal bagi investor ritel untuk menakar sektor mana yang paling sejalan dengan profil risiko portofolio mereka—apalagi setelah BEI mempercepat proses review untuk mengejar window listing di kuartal II. Kira-kira, siapa saja yang sudah mengajukan pernyataan pendaftaran dan kapan jadwal bookbuilding-nya? Mari kita urutkan satu per satu.
- Empat calon emiten berkapitalisasi besar (aset >Rp250 m) akan menyerap likuiditas signifikan—rencanakan alokasi dana early bidding agar tak ketinggalan exposure di hari pertama listing, biasanya paling volatile.
- 7 perusahaan ber-aset Rp50–250 miliar masuk pipeline IPO 2025, menandakan BEI makin membuka pintu untuk mid-cap; investor retail bisa menyasar aksi korporasi yang relatif ‘murah’ sebelum valuasi melejit saat likuiditas naik pascalist.
Dari pantauan BEI, aliran calon emiten baru masih didominasi oleh empat sektor yang selama setahun terakhir paling gencar ekspansi—dari hulu energi hingga jasa keuangan—sehingga investor ritel bisa lebih dulu memilah emiten dengan cerita pertumbuhan yang paling dekat dengan kebijakan pemerintah (misalnya program bijih nasional atau downstream mineral) maupun tren konsumsi yang baru bangkit; artinya, daftar ini bukan sekadar “antrian” tetapi juga peta cepat untuk men-tracking potensi pendorong laba jangka menengah sebelum prospektus lengkap dirilis.
- Pipeline 11 emiten baru BEI 2025 bukan hanya soal jumlah: rekam jejak sektor mereka—dari teknologi hingga infrastruktur—menentukan apakah indeks IDX baru bisa menembus resistensi 7.400, sekaligus membuka peluang early bid bagi investor yang mengincat lotisasi strategis sebelum book building.
- Pipeline IPO BEI 2025: 11 emiten baru—dari renewable energy hingga consumer goods—siap mencatut dana ≥Rp20 triliun; investor bisa manfaatkan window listing awal untuk “early-bird discount” sebelum harga diserap sentimen kuartal-I.
- Pipeline 11 emiten baru BEI 2025—terdiri atas 4 konsumer, 3 teknologi, 2 kesehatan dan 2 infrastruktur—diproyeksi menyerap Rp 18–22 triliun likuiditas, sehingga investor dianjurkan alokasikan 5–7% portofolio dalam rekening terpisah agar bisa menangkap potensi listing gain 10–20% tanpa terkena cash call tiba-tiba.
- Transportasi – emiten logistik berbasis darat-laut berpotensi menikmati lonjakan volume kargo pasca-cuti Lebaran, sehingga sentimen IPO-nya bisa didorong volatilitas musiman; pantau saham kompetitor (WEHA, IPCC) sebagai benchmark valuasi 1–2 minggu sebelum book building.
Selebihnya, tiga emiten non-teknologi ini justru menarik perhatian karena berasal dari sektor–sektor yang langsung terasa dampaknya oleh konsumen: retail makanan, logistik darat, dan energi terbarukan. Di tengah tekanan suku bunga relatif tinggi dan pelemahan daya beli wilayah Jabodetabek, kehadiran ritel yang berorientasi pada frekuensi kunjung tinggi bisa menjadi barometer pemulihan konsumsi; sementara emiten logistik dinilai akan mendapat angin segar dari rencana pemerintah memperluas jaringan tol dan pelabuhan. Efek domino potensialnya: jika salah satu dari ketiganya mencatatkan harga di atas range midpoint pada hari pertama, sentimen positif bisa menyebar ke sub-sektor yang berdekatan, terutama saham–saham distribusi dan utilitas yang kerap dijadikan lindung nilai oleh investor ritel. Apakah ke depan akan muncul kejutan dari nama-nama yang masih di bawah radar ini?
- Konsumer siklikal — emiten ritel & otomotif biasanya IPO di tengah pemulihan daya belu; pantau data konsumsi T2-2025 karena lonjakan 5-7% QoQ bisa jadi katalis cepat untuk performa hari pertama.
- Konsumer non-siklikal—mulai dari rokok, minuman kemasan hingga kosmetik—diprediksi tetap jadi “safe haven” karena permintaan stabil walau BI rate 6,25 %, sehingga emiten baru dari sektor ini bisa langsung difavoritkan dana defensif; manfaatkan IPO untuk mengunci harga wajar sebelum kuartal II ramai rights issue.
- Teknologi
Selain antrean emiten anyar, investor juga perlu mengamati geliat aksi korporasi yang masih konstan—dari pencatatan saham bonus, rights issue, hingga buy-back—karena seringkali menjadi katalis jangka pendek yang menaikkan likuiditas dan volatilitas saham tertentu. Di tengah rentetan penawaran umum yang diproyeksikan BEI tahun ini, kehadiran aksi korporasi ini bisa memperluas pilihan diversifikasi portofolio ritel, sekaligus menyebarkan risiko karena aliran dana tidak terlalu terpusat pada sektor tertentu. Perhatikan baik-baik jadwal efektif dan rasio pelaksanaan setiap aksi; kesalahan hitung bisa mengekang potensi keuntungan maupun memperlebar kerugian. Mari kita telusuri lebih dalam kapan momentum paling ideal untuk menambah posisi, serta sejauh mana sentimen global—mulai dari suku bunga The Fed hingga arus modal asing—berpotensi memengaruhi keputusan Anda di lantai bursa hari ini.
- Rights issue: Hingga 26 September 2025, 10 emiten telah menghimpun Rp16,63 triliun—setara 37% dari total penerbitan saham baru BEI 2024—sehingga investor perlu cermati potensi dilusi hingga 15% dan pastikan hak atas saham (HMETD) tidak terlewat untuk menekan rata-rata harga perolehan.
- Obligasi: Hingga saat ini telah diterbitkan 134 emisi obligasi dari 70 penerbit Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS), dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp156,4 triliun—angka ini menunjukkan minat korporasi besar terhadap pendanaan jangka menengah, sekaligus menandai peluang diversifikasi bagi investor yang menghindari volatilitas saham; pilihkah tenor 3–5 tahun dengan kupon di atas 6% untuk mengimbangi risiko suku bunga yang masih bisa naik.
