
Emas dunia menembus level psikologis US$3.800/troy oz pada perdagangan Kamis (18/9), melesat 3,6% dalam sehari dan 18% sejak awal September, menurut data Bloomberg. Laju ini langsung mendorong harga fisik di Pegadaian dan Tokopedia Emas menyentuh Rp1,6 juta/gram—naik Rp135.000 hanya dalam seminggu—sekaligus membawa keuntungan unrealized investor ritel yang menimbang emas sejak awal 2025 ke kisaran 22%–25%. Di tengah rupiah yang masih bergerak di Rp15.400–15.500/US$, lonjakan tersebut membuat pembeli baru berpikir dua kali, sementara mereka yang sudah holding kini menimbang: apakah ini waktu tambah posisi, atau segera take profit? Jawabannya tergantung pada empat pemicu yang masih mengemuka di pasar, dan kita akan uraikan satu per satu.
Lonjakan emas ke level USD 2.350/oz—tertinggi sejak April 2024—kembali menggoda investor ritel Indonesia untuk berburu “asuransi” terhadap ketidakpastian global. Di balik penguatan ini, empat faktor utama berperan: (1) ekspektasi The Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali tahun ini setelah data inflasi AS melemah, sehingga yield Treasury 10-tahun turun ke bawah 4,3% dan membuat emas—yang tak memberi bunga—kian menarik, (2) lonjatan permintaan safe-haven menyusul konflik geopolitik di Timur Tengah serta pemanasan Laut Merah yang mengganggu rute pengiriman logam mulia, (3) belanja emas oleh bank sentral China dan Polandia yang tetap solid untuk diversifikasi cadangan, menyerap pasokan spot market, serta (4) pelemahan indeks dolar DXY ke kisaran 103,5 yang secara mekanis mendorong harga emas—yang di-quote dalam USD—lebih tinggi. Di pasar domestic, efeknya terasa langsung: harga emas fisik LM Antam 1 gram di Transaksi Emas Digital (TED) sudah menyentuh Rp 1,45 juta, naik sekitar 4% sejak awal Juni, sementara spread buy-sell di outlet fisik melebar ke Rp 25 ribu, pertanda permintaan meningkat namun likuiditas masih terbatas. Bagi investor ritel, momentum ini menjadi ujian sekaligus peluang: apakah akan ikut memburu kenaikan, atau justru menunggu koreksi untuk entry yang lebih menguntungkan? Simak selengkapnya strategi yang bisa disesuaikan dengan profil risiko Anda di bawah ini.
- Rekor USD 3.800/oz ini menandakan emas telah naik >30% YTD 2025—ultra-risk-on di tengah suku bunga riil AS minus 1,8%—sehingga trader short-term mulai kunci profit, sementara investor jangka panjang bisa manfaatkan koreksi 3-5% untuk entry bertahap sebelum Fed potong suku bunga lagi di Desember.
- Pelemahan rupiah hingga 0,9% terhadap dollar sejak Juni membuat emas impor lebih mahal, mendorong harga lokal naik 3-4% meski harga global flat—jadi pastikan Anda hitung spread lokal-global sebelum entry.
- Pelemahan USD pasca-pidato Powell yang “dovish” membuat emas terdiskon bagi pemegang mata uang lain, sehingga lonjakan permintaan fisik India-Tiongkok langsung menyeret spot price ke atas; manfaatkan pull-back intraday untuk entry bertahap sambil pasang stop di bawah support USD 3.750/oz.
Di tengah ketidakpastian global, emas berjangka Comex berhasil menembus level psikologis US$3.800/troy oz pada perdagangan Kamis (25/9), melesat 4,3% dalam sehari dan baru sebulan sudah naik 11%. Bagi investor ritel Indonesia, lonjakan ini berarti harga emas fisik Antam 1 g—setelah dikonversi dengan kurs BI dan ditambah premi 5–7%—sudah mendekati Rp 2 juta, level yang belum pernah tercatat sejak kuartal I 2024. Penguatan tersebut bukan hanya “safe-haven biasa”: spektrum pemicu mulai dari potensi pelonggaran 50 bps The Fed pekan depan, lonjakan belanja Pemerintah China menjelang Golden Week, hingga gejolak Timur Tengah yang mendorong aliran dana keluar dari obligasi US 10-yeardan masuk ke logam mulia. Bagaimana skenario berikutnya setelah sentimen “buy-the-rumour” mereda? Simak empat faktor kunci yang akan menentukan apakah US$3.800 menjadi lantai baru atau sekadar puncak sementara.
Lonjakan emas ke level USD 3.800/oz bukan hanya “pelarian” ke safe haven, tapi cerminan sentimen global yang kini makin rumit: ekspektasi The Fed menurunkan suku bunga lebih dalam menyusul pelemahan data tenaga kerja AS memicu pelemahan DXY ke renten 100-101, sementara potensi tarif impor baru AS–China yang bakal diberlakukan bulan depan mendorong bank sentral Asia termasuk BI untuk menambah alokasi emas guna mengurangi ketergantungan pada cadangan USD. Di pasar fisik domestik, Antam LM kini sudah menyentuh Rp 2,45 juta/gram—naik lebih dari 7% sejak awal Mei—dan menyeret premi kembali ke kisaran 5% dari harga spot, sinyal kuat bahwa permintaan ritel masih solid meskipui Kuartal II identik dengan musim kawin yang biasanya menurunkan minat beli emas. Bagi investor ritel, tekanan impor dan rupiah yang masih berada di atas Rp 15.800/USD memperbesar peluang kenaikan harga lokal berlanjut, terutama bila kamu membeli dalam jangka pendek dan berniat merealisasikan keuntungan di akhir Ramadan. Kita perlu menelisik lebih dalam apakah momentum ini masih terbuka, atau justru sudah jenuh—mari simak profil risiko serta skenario entry-nya di pembahasan berikutnya.
Menurut Thendra Crisnanda, Direktur Investor Relations PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), lonjakan emas ke level USD 3.800/oz justru menegaskan fungsi safe-haven yang tetap dicari global, sekaligus membuka ruang bagi pelaku lokal. “Di tengah tekanan inflasi global dan pelemahan rupiah, emas fisik berkualitas LBMA menjadi alokasi yang relatif mudah dijual kembali—terutama bila investor ritel memanfaatkan fitur cicilan 0% atau sistem nabung emas untuk merata-ratakan harga beli,” ujarnya. Crisnanda menambahkan, selama pelemahan USD/IDR masih di bawah 5% per kuartal, harga emas dalam rupiah masih bisa naik meski dollar global terkoreksi, sehingga trader harian maupun tabungan jangka panjang tetap punya celah keuntungan. Namun, ia mengingatkan untuk selalu cek spread buy-back di gerai resmi dan pastikan struk pembelian tersimpan digital agar likuiditas di hari tua tetap lancar. Apa saja skenario berikutnya yang perlu diantisipasi saat Fed kembali rapat, dan bagaimana caranya mengunci keuntungan tanpa terjebak fee tersembunyi?
Bank sentral global masih berjalan di jalur pelonggaran—mulai dari pelambatan kenaikan suku bunga hingga peluang potensial pemangkasan di 2025—sehingga yield nyata obligasi makin tertekan dan membuat emas kembali “menjadi satu-satunya mata uang yang tak bisa dicetak”. Dorongan kuat datang pula dari konsentrasi pembelian oleh bank sentral Asia, khususnya Turki, Tiongkok, dan India, yang berupaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Di Tanah Air, rupiah yang sempat menyentuh Rp15.900/USD pekan lalu membuat Ibu Kota lebih mengandalkan emas sebagai “asuransi murah” terhadap lonjakan impor energi. Selain itu, permintaan fisik mulai Ramadan menjaga premium Antam naik ke kisaran 6% di atas harga internasional, menegaskan bahwa sentimen lokal—bukan hanya pelemahan global—turut mendorong reli. Karena itu, investor ritel perlu mengawal dua hal sekaligus: arah Fed dalam rapat FOMC Desember serta kesiapan BI menahan volatilitas rupiah; keduanya bisa menentukan apakah penguatan harga akan lanjut atau jeda. Di bawah ini kami uraikan empat skenario—dan strategi yang bisa Anda lakukan untuk masing-masing situasi.
Di tengah rentetan data ekonomi AS yang masih campur aduk—mulai dari pelemahan indeks manufaktur hingga pasar tenaga kerja yang mulai longgar—peluang The Fed untuk mendorong suku bunga lebih rendah pada pertemuan FOMC 30-31 Oktober memang kian terbuka. Bagi investor ritel lokal, momentum ini patut dicermati karena sejarah menunjukkan setiap kali ekspektasi kelonggaran moneter AS menguat, aliran dana cenderung kembali ke logam mulia, mendorong harga emas dunia naik dan menyalakan “efek domino” pada HRTA di Bursa Efek Indonesia. Tambahan sentimen dari pemilu AS November nanti—terutama janji stimulus fiskal kedua kandidat—berpotensi memperbesar tekanan inflasi jangka menengah, sehingga emas kembali jadi “pelindung daya beli” favorit. Sementara itu, permintaan fisis dari bank sentral Asia—termasuk spekulasi pengayaan cadangan BI menjelang Thanksgiving—dan lonjakan imbel emas China menjelang musim pernikahan Q4 diyakini bakal menambah keketatan pasokan spot, memperkokoh alas fundamental penguatan harga. Dengan rupiah yang masih berkutat di kisaran Rp15.400/USD, imbal hasil real emas di pasar domestik bisa terasa makin menggiurkan, terutama bila Anda mencari diversifikasi di luar saham dan obligasi; pertanyaannya, strategi entry apa yang paling efisien untuk menangkap volatilitas ini sebelum sentimen The Fed benar-benar tercapai?
Selain tekanan dari penguatan dolar AS, investor ritel tanah air kini juga mengawasi kebijakan Bank Indonesia yang berpotensi memengaruhi arus modal. Rapat Dewan Gubernur BI pada pertengahan Oktober diperkirakan menjadi titik krusial: di satu sisi otoritas tetap menjaga stabilitas Rupiah agar impor energi dan harga emas lokal tak makin mahal, di sisi lain tetap memberi ruang stimulus agar konsumsi domestik tak lesu. Kombinasi suku bunga acuan, intervensi di pasar valas, dan komunikasi kebijakan akan menentukan apakah aliran dana bakal kembali ke aset berisiko—atau justru memperkuat alur “safe haven” emas. Karena itu, sebelum memutuskan beli-jual logam mulia, pastikan Anda sudah mencermati tiga skenario di bawah ini.
Dengan rupiah yang masih berada di kisaran Rp16.000 per dolar AS—meski BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Juni lalu—potensi pelemahan tambahan terbuka lebar bila The Fed mulai memangkas bunga lebih dulu. Emas, yang sejak awal Juli naik lebih dari 8% dalam rupiah, justru menjadi “pelarian” alami dari risiko nilai tukar ini. Artinya, bila baik The Fed maupun BI akhirnya memilih jalur pelonggaran moneter untuk menopang pertumbuhan, dorongan dua arah—depresiasi rupiah dan koreksi imbal hasil surat utang AS—bisa membuat logam kuning terus mengekor uptrend global. Bagi investor ritel, bukan lagi soal “naik atau turun”, melainkan seberapa cepat Anda menyesuaikan alokasi sebelum sentimen itu terdiskon pasar. Lantas, strategi apa yang paling realistis untuk memanen volatilitas tersebut tanpa terperangkap koreksi tiba-tiba?
Ketimbang sekadar pendar bullish, lonjakan emas di atas US$3.800/oz menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku—mulai dari bank sentral, dana pensiun hingga trader ritel di Tanah Air—menganggap logam kuning sebagai “opsi” ketimbang “pelengkap” saat risiko makro makin sulit diharga. Di pasar fisik Jakarta, Antam LM 1 g kini berada di level yang belum pernah tercatat sejak Oktober 2022, sementara spread buy-back di toko emas masih menyempit di bawah Rp 35.000/gr, sinyal kuat bahwa permintaan belum mereda meski harga sudah naik dua digit. Apabila rupiah terus bergerak di kisaran Rp 16.000–Rp 16.200/US$ (area yang relatif tertahan sejak April), potensi kenaikan lokal bisa berjalan lebih cepat dari pergerakan dolar AS, menjerat trader short-term yang menunggu koreksi. Karena itu, sebelum menambah posisi atau justru profit-taking, pantau tiga variabel berikut: (i) arus dana asing di SUN 10-yr—indikator cepat apakai IHSG akan tertekan sehingga alih-alih ke emas; (ii) jadwal peluncuran SBN SR012 berikutnya, yang bisa menyerap likuiditas ritel dan meredam minat terhadap LM; serta (iii) keputuhan Fed pada 19 Juni, yang akan menentukan arah imbal hasil Treasury dan, secara tidak langsung, daya tarik emas tanpa yield. Mari kita urai satu per satu faktor tersebut agar Anda bisa menentukan skala entri yang sesuai dengan profil risiko.
Kenaikan emas ke level USD 3.800/oz bukan sekadar angka baru di chart—ia menegaskan bahwa di tengah volatilitas IHSG yang masih di bawah 7.400 dan tekanan rupiah di Rp 15.800/USD, emas kembali menjalankan fungsi “insurance” yang dibutuhkan investor ritel. Alih-alih menunggu timing pas, banyak keluarga urban kini memanfaatkan fasilitas tabungan emas digital untuk akumulasi rutin Rp 100-500 ribu per hari; skema ini memungkinkan mereka membeli pecahan 0,01 gram tanpa terbebani spread toko emas fisik. Ketika BI kembali memperkirakan inflasi 2024 di kisaran 3%, holding cost emas—yang nyaris nol—tampi lebih menarik dibanding deposito 5% yang kena pajak final 20%. Artinya, alokasi 10-15% portofolio ke logam mulia tak lagi soal “hedging”, melainkan cara praktis menjaga daya beli di era bensin dan haji naik. Bagaimana cara entry yang tidak bikin dompet kempes? Simak skema nabung emas tanpa cemas di paragraf berikut.
Di tengah lonjakan harga emas dunia yang menembus US$ 2.350/oz—level tertinggi sejak Maret—harga eceran di Tanah Air ikut melambung: logam mulia Antam 24 karat di Pegadaian Senin (6/10) dibanderol Rp 2,34 juta/gram, naik hampir 3% dalam sepekan. Penguatan ini bukan sekadar “ikutan tren global”, melainkan kombinasi spekulasi The Fed akan memangkas suku bunga September nanti, permintaan fisik India-China yang mulai meningkindo menjelang musim pernikahan, serta belanja emas bank sentral yang menurut WGC masih di atas 1.000 ton per kuartal. Bagi investor ritel, kenaikan ini sekaligus menguji dua hal: posisi entry yang masih aman dan potensi koreksi jika dolar AS rebound. Jadi, apakah puncaknya sudah tercapai atau masih ada ruang naik? Mari kita urai faktor-faktor lokal yang kerap luput dari radar.
Sementara emas dunia terus memperbarui rekor, harga fisik di dalam negeri tampaknya berhenti mengekor lonjakan global: Antam 24-kar di Pegadaian bertahan di Rp 2.340.000/gram dan Galeri24 di Rp 2.230.000/gram—selisih Rp 110.000 yang mencerminkan keterbatasan stok Antam di gerai serta potongan spread yang lebih sempit di kanal digital. Rupiah yang masih berkutat di atas Rp 16.400/USD memang memberi ruang bagi penjual lokal untuk menahan kenaikan, namun koreksi kecil tadi malam di COMEX—dari US$3.815 ke US$3.790/oz—mulai memicu aksi ambil untung, sehingga investor ritel kini menimbang apakah akan melengkapi posisi saat harga kembali tertahan atau menunggu pelemahan lebih dalam; apalagi BI diyakini masih punya ruang intervensi guna meredam volatilitas di pasar spot domestik. Untuk mengetahui apakah momentum bullish masih terjaga, simak empat pemicu lokal yang kerap luput dari pantauan berikutnya.
Setelah mencetak rekor di kisaran US$ 2.825/oz di pasar internasional, harga emas fisik dalam negeri tampak menahan diri: lembaran 1 gram UBS masih bertengger di Rp 2.275.000, tidak jauh berbeda dari posisi sepekan lalu. Stagnasi ini mencerminkan dua kekuatan yang saling menahan—pelemahan rupiah memompa impor, sementara minat beli konsumen lokal menurun karena libur panjang dan kenaikan bunga kredit multiguna. Bagi investor ritel, level ini tetap menarik untuk cost-averaging selama terjaga di bawah Rp 2.300.000, terutama jika The Fed masih memberi sinyal “higher for longer” pekan depan. Apakah tekanan dari pelemahan USD/IDR akan cukup untuk mendorong harga kembali ke jalur bullish, atau justru koreksi global akan mendorongnya turun ke Rp 2.200.000? Mari kita uraikan skenario berikutnya.
