
Keputusan BEI menarik kembali fitur short selling sampai Maret 2026 cukup menenangkan investor ritel yang masih khawatir akan tekanan jual berlebih di tengah pelemahan rupiah dan risiko global. Dengan tidak adaya mekanisme “menjual dulu, beli kemudian”, peluang aksi spekulatif jangka pendek berkurang, sehingga sentimen bearish cenderit terbatasi—setidaknya secara teknis. Di sisi lain, likuiditas bisa tetap terjaga karena pelaku pasar masih bisa melakukan transaksi biasa maupun intraday, sementara emiten berfundamental kuat tetap berpeloni menarik aliran dana yang mengincar diskon valuasi. Langkah ini juga memberi BEI waktu tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur pengawasan serta edukasi pelaku, sehingga ketika short selling akhirnya dihidupkan, risiko manipulasi diharapkan lebih kecil. Bagi portofolio Anda, fokus kembali pada emiten yang cash flow-nya utuh dan sektor yang berkorelasi positif dengan stimulus pemerintah—karena itulah yang paling mungkin memimpin rebound ketika sentimen global membaik. Bagaimana sektor-sektor tersebut menanggapi kebijakan ini? Mari simak tren berikutnya.
Dengan mengumumkan perpanjangan moratorium short selling hingga Maret 2026, BEI mempertahankan “pengaman psikologis” bagi pelaku pasar ritel yang masih mengingat tekanan jual beruntun awal 2020; keputusan ini—selain menekan potensi distorsi harga dari posisi jual terbatas—juga memberi ruang bagi emiten dan regulator untuk menyempurnakan infrastruktur risk management, termasuk mematangkan aturan margin dan memperluas daftar efek yang diperdagangkan. Bagi investor ritel, momen ini dapat dimanfaatkan untuk menata ulang portofolio: fokus pada fundamental emiten yang benar-benar terbentuk—terutama sektor yang berkaitan dengan konsumsi dan infrastruktur domestik—sekaligus mengantisipasi likuiditas global akibat suku bunga AS yang masih tinggi. Apa implikasi lanjutan terhadap volatilitas IHSG, dan bagaimana strategi positioning ke depan?
Penundaan implementasi short selling hingga Maret 2026 yang baru diumumkan BEI memberikan jeda evaluasi bagi pelaku pasar, terutama setelah volatilitas IHSG tahun ini yang masih terbatas di kisaran 6.900–7.200. Tanpa tekanan penjualan kosong, sentimen jangka pendek cenderung didukung oleh likuiditas domestik—terbukti dari rata-rata nilai transaksi harian yang masih di atas Rp 20 triliun sejak September—sekaligus menekan risiko lonjakan volatilitas saat bursa global goyah. Bagi investor ritel, artinya ruang “sideways” berpotensi lebih lama, sehingga strategi stock-picking pada emiten fundamental kokoh dan discount momentum pasca-koreksi tetap menarik; sebaliknya, penundaan ini juga menunda kesempatan lindung nilai bagi pemegang portofolio besar. Apakah ini akan membuat dana asing kembali gencar masuk, atau justru pelan karena menunggu kejelasan kebijakan? Mari soroti sektor yang berpotensi manfaat paling cepat dari situasi ini.
Dengan memperpanjang penundaan penerbitan Daftar Efek Short Selling hingga 17 Maret 2026, BEI secara implisit memberi ruang napas bagi emiten-emiten berkapitalisasi menengah-bawah yang selama ini paling rawan akan tekanan jual pendek—sekaligus menahan bandar-besar dari strategi ‘sell on news’ di tengah volume yang masih tipis. Langkah ini, di tengah pelemahan rupiah dan risiko global, menurut sejumlah analis justru menjadi penyangga psikologis: investor ritel bisa lebih tenang menghindari saham yang tiba-tiba terjun bebas karena aksi short, sementar pelaku institusi akan lebih selektif menempatkan dana pada kontrak berjangka atau single-stock futures sebagai alternatif lindung nilai. Bagi portofolio Anda, artinya saham-saham gorengan yang kerap muncul di radar Aksi Corp maupun IPOT akan tetap bergerak naik-turun, namun volatilitasnya—setidaknya dalam teori—tidak lagi diperparah oleh dorongan short yang tiba-tiba; peluang ‘buy on weakness’ pun bisa lebih leluasa dieksekusi asal tetap dikawal risiko. Tetapi apakah kebijakan ini cukup untuk menahan IHSG dari tekanan asing yang masih gencar? Mari kita telusuri arus dana dan sektor yang jadi incaran di pekan depan.
Keputusan BEI menegosiasikan ulang jadwal peluncuran short selling hingga Maret 2026 mencerminkan kehati-hatian otoritas terhadap risk-on momentum yang masih rapuh; sentimen domestik—mulai dari pelemahan rupiah, tekanan inflasi impor, hingga arus modal asing yang belum konsisten—dinilai belum mencukupi untuk menyerap dorongan jual dari strategi bearish tersebut. Bagi investor ritel, penundaan ini memberi ruang tambahan untuk menata ulang portofolio: saham-saham berfundamental kuat namun tertekan koreksi jangka pendek bisa menjadi target akumulasi bertahap, sementara emiten bermuara tinggi masih layak dikurangi bobotnya sebelum mekanisme two-way trading resmi berjalan. Sekaligus, kebijakan ini menandakan bahwa regulator lebih memprioritaskan stabilitas harga daripada ekspansi produk, sehingga volatilitas intraday diharapkan tetap terkendali tanpa tekanan short-selling masif. Dengan latar belakang itu, apakah pasar akan mempertahankan reli terbatas di pekan depan, atau justru kembali menguji support sebelum pelaku besar mempercepat re-entry? Simak potensi skenario dan sektor yang masih menarik di pembahasan berikut.
Keputusan BEI untuk memperpanjang penundaan short selling hingga Maret 2026 menambah catatan panjang kebijakan yang awalnya ditargetkan berlaku 26 September 2025; bagi investor ritel, tundaan ini berarti pasar masih beroperasi tanpa alat hedging yang umum dipakai di bursa regional, sehingga sentimen beli tetap menjadi penggerak utama, namun risiko pelarian tajam tetap tinggi bila tekanan jual global datang—perhatikan saham-saham berkapitalisasi besar yang kerap menjadi sasaran arus dana asing untuk mengantisipasi volatilitas tersisa. Apa skenario berikutnya setelah jeda ini, dan bagaimana peluang serta jebakan yang perlu Anda petakan di lantai bursa?
