
Dihitung dari catatan Bursa Efek Indonesia, investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp 1,18 triliun pada penutupan Jumat (10/10), mengakhiri rangkaian alihan diller selama empat hari beruntun. Perhatian mereka tampak terbagi: sektor konglomerat—yang diwakili oleh emiten infrastruktur digital seperti CDIA dan WIFI—kembali menjadi sasaran akumulasi, sementara sejumlah big-cap bank justru berbalar jual. Pola ini menandai bahwa uang cerdas masih mencari cerita pertumbuhan berbasis konsumsi digital, sekaligus mengevaluasi ulang valuasi bank yang selama ini dianggo “mahal” usai rally kuartal ketiga. Bagi ritel, pergerakan dua blok ini bisa menjadi indikator awal rotasi sektoral; mari kita telusuri lebih dalam siapa saja yang masuk radar asing, serta seberapa kuat momentumnya.
Dalam tengah pekan ini, dana asing kembali menunjukkan gairah selektif: mereka menyerap Rp1,18 triliun saham-saham non-bank, khususnya konglomerat CDIA dan WIFI yang notabene punya lini bisnis logistik & digital infra—dua sektor yang kini mendapat angin segar dari konsumsi data dan distribusi e-commerce pasca-hari gajian. Sementara itu, aliran keluar masih terjadi di sektor perbankan, menandakan bahwa portofolio para fund manager sedang direbalancing menjelang akhir semester I; mereka mengurangi bobot saham yang sensitif terhadap suku bunga dan beralih ke emiten berbasis aset tetap yang dianggap lebih ‘tahan badai’ jika BI rate turun lagi. Bagi investor ritel, pola ini bisa dijadikan sinyal bahwa tekanan jual di bank belum sepenuhnya mereda, sementara opportunistic buy pada konglomerat berbasis infrastruktur mulai terlihat—tetapi tetap perlu diperiksa arus kas dan leverage-nya agar tidak terjebak rally teknikal semata. Jadi, apakah arus dana ini bakal berlanjut atau hanya jeda sesaat sebelum pelaku besar kembali memburu saham bank yang kini harganya diskon?
- Net Buy Rp1,18 T: Asing Bidik Saham Konglomerat CDIA & WIFI, Bank Dilepas – Alih-modal menandai risk-on selective; konglomerat non-bank dipandang lebih tahan terhadap risiko NPL & BI rate, sementara profit-taking bank sejalan dengan pelemahan spread NIM yang mulai terbaca di laporan kuartal berikutnya.
- Net buy asing Rp1,18 T diiringi rotasi ke saham konglomerat: CDIA dan WIFI melesat masing-masing 9,4% dan 20,6% setelah investor mengejar prospek holding-company yang berkapitalisasi rendah dan berpotensi unlock value, sementara aliran dilirik dari sektor bank—yang tercatat net sell—menandakan risk appetite meningkat namun masih selektif; waspadai volatilitas jangka pendek karena penguatan tajam bisa memicu profit-taking, namun tren aliran asing positif menopang sentimen untuk swing trade dengan tetap pasang stop di bawah level support akhir-akhir ini.
- Alih-alih bank, asing menyedot konglomerat CDIA (Rp 336 m) & WIFI (Rp 207 m) yang bergerak di infrastruktur digital—sinyal mereka menghindari risiko suku BI rate masih naik dan lebih percaya pada cerita capex 5G/tower; ini bisa jadi peta jangka pendek: swing ke non-bank yang earnings-nya tak terlalu sensitif terhadap NIM pressure.
Jakarta – Investor asing kembali menambah alokasi ke pasar saham Indonesia pada penutupan pekan lalu, tercermin dari net foreign buy Rp1,18 triliun (10/10). Alih-alih memburu saham-saham bank yang sejak September jadi favorit, kali ini dana asing lebih agresif menyerap emiten konglomerat berkapitalisasi besar—termasuk CDIA dan WIFI—sementara beberapa big-cap bank justru tercatat net sell. Pergeseran ini menandai penyesuaian portofolio menjelang rilis data inflasi AS dan keputusan suku bunga BI, sekaligus mengingatkan investor ritel bahwa arus dana asing tetap volatile; pahami alasan di balik rotasi sektor agar tidak terjebak memburu harga. Bagaimana strategi tepat menyikapi peralihan ini?
Dana asing yang masuk hari ini tampak lebih selektif: alih-alih mengejar saham bank yang sejak awal Juni ditekan aksi jual domestik, mereka membidik emiten konglomerat dengan eksposur properti dan infrastruktur—sektor yang mulai mendapatkan sentimen positif dari potongan suku bunga acuan BI dan percepatan proyek IKN. Salah satu yang mencuat adalah CDIA, yang—selain memiliki lahan strategis di Jawa dan Kalimantan—baru saja menyelesaikan restrukturisasi utang sehingga risiko neraca menurun drastis. Investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp313,99 miliar pada kode ini, indikasi bahwa mereka lebih suka membayar valuasi tinggi untuk cerita turnaround yang terukur ketimbang menangkap pisau jatuh di saham bank yang masih menghadapi tekanan NIM dan potensi kenaikan kredit bermasalah. Jika rotasi ini berlanjut, perhatian bisa segera beralih ke saham konglomerat lain yang belum terlalu disentuh—apa saja kriterianya?
Dalam rentetan pembelian asing hari ini, PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) yang masih memimpin di sektor jasa keuangan digital tercatat masuk Rp312,87 miliar, diikuti oleh ANTM (Rp214,37 miliar) yang memperoleh sentimen positif dari prospek harga emas global di atas US$2.300/toz, BRPT (Rp173,78 miliar) yang menggoda investor karena rencana ekspansi bioenergi, serta CUAN (Rp132,73 miliar) yang mulai menarik setelah koreksi panjang; keempatnya berpotensi menjadi katalis portofolio jangka pendek, namun tetap perlu dikaji rasio valuasi dan sentimen sektoral sebelum memutuskan entry point—kira-kira bagaimana strategi posisi jika dana asing tiba-tiba berbalik net sell di penutupan nanti?
Di tengah gempuran beli asing pada konglomerat digital (CDIA) dan telematika (WIFI), aliran dali lembali menekan dua bank BUMN besar: BBRI dan BMRI tercatat masing-masing terlepas Rp 144,7 miliar dan Rp 136,2 miliar. Pergerakan ini mencerminkan rotasi yang makin sering terjadi di IHSG pascapenurunan suku bunga acuan— investor global mengejar laju pertumbuhan di sektor non-tradisional, sementara lokal dan institusi regional mengunci keuntungan di saham-sahim yang sudah naik di kuartal I. Bagi ritel, penjualan asing di bank bukan serta-merta sinyal bearish: valuasi BBRI dan BMRI masih berada di bawah rata-rata lima tahun, rasio NPL terkendali, dan prospek dividen tetap menjanjikan. Kuncinya, manfaatkan pelemahan untuk mengumpulkan di level support tahanan sebelum tren rotasi kembali berbalik. Apa langkah strategis berikutnya bursa bergairah ini berubah? Mari soroti faktor pendorong lain.
Dibalik aksi beli Rp 1,18 triliun, terlihat pola “pilih-pilih” yang semakin tajam: dana asing menelurkan sebagian besar saham big-cap—terutama bank—sekaligus menambah bobot di dua konglomerat non-bank, CDIA dan WIFI. Rotasi ini mengisyaratkan bahwa portofio mereka sedang ditata ulang untuk menurunkan risiko sektoral, sekaligus menangkap potensi sentimen positif dari infrastruktur digital, logistik, dan hilirisasi komoditas yang kini jadi sorotan pemerintah. Bagi investor ritel, perubahan kepemilikan ini bisa menjadi sinyal dini arus dana berikutnya; mari kita telusuri faktor pendorong lain di balik pergantian saham favorit asing.
Dibayangi aksi beli asing senilai Rp1,18 triliun, dua nama konglomerat—CDIA dan WIFI—berhasil melesat 9,4% dan 20,6% secara berurutan ke level Rp2.320 dan Rp3.930, menorehkan volume di atas rata-rata 20-hari. Dorongan utama bukan sekadar euforia jangka pendek: CDIA mempercepat proses spin-off unit digitalnya yang mulai monetisasi data pelanggan, sementara WIFI baru menandatangani kerja sama infrastruktur fiber optik dengan entitas pelat merah, membuka potensi pendapatan berulang selama 15 tahun. Kombinasi transformasi model bisnis—dari yang semula bergantung pada capex berat ke pendapatan berbasis layanan—dan sentimen sektoral positif membuat keduanya menarik bagi manajer dana global yang cari “growth at reasonable price” di tengah ketidakpastian suku bunga. Meski demikian, investor ritel perlu memperhatikan bahwa bank justru diborong dana asing, menandakan alokasi portofolio yang bergerak cepat; jadi, apakah rally konglomerat ini masih punya ruang lanjutan atau segera menuai profit taking?
Lantaran bank-bank besar masih menghadapi potensi penurunan laba akibat kenaikan biaya kredit dan kebutuhan provisi yang lebih besar, dana asing justru memanfaatkan pelemahan jangka penduk untuk menurunkan bobot portofolio di sektor tersebut. Alih-alih melakukan “all-out” selling, mereka lebih memilih memangkas core holding yang dianggap sudah cukup likuid—biasanya BMRI, BBCA, atau BBNI—sehingga harga tak terdorong bebas jatuh, tapi sentimen negatif tetap terasa di pasar. Bagi investor ritel, lonjakan net sell perbankan ini bisa jadi sinyal untuk menilik ulang rasio P/B dan NPL massing-massing emiten; bila fundamental masih stabil, koreksi bisa menjadi jendela akumulasi bertahap sebelum prospek bunga mulai landai pada kuartal berikutnya. Tetapi, perlu diingat juga bahwa tekanan suku bunga acuan yang lebih lama tinggi dapat menekan net interest margin lebih dalam, sehingga sebaiknya tetap menunggu konfirmasi stabilnya kualitas aset di laporan kuartal mendatang—yang juga akan menentukan apakah foreign flow akan kembali masuk atau justru memperpanjang aksi profit taking.
Pukul 11.45 WIB, goncangan masih terasa di sektor perbankan big-cap: BBCA terkoreksi 1,01% ke Rp7.325, menambah daftar merah yang sudah menyelimasi BMRI, BBNI dan BRIS sejak pembukaan. Koreksi ini justru berbarengan dengan aksi beli bersih investor asing senilai Rp1,18 triliun yang lebih banyak mendarat di saham konglomerat (CDIA, WIFI) ketimbang bank, menandai rotasi cepat dari sektor yang selama dua pekan lalu jadi “tempat berlindung”. Bagi ritel, level saat ini bisa jadi kesempatan koleksi bertahap—tapi pastikan Anda mengawasi terlebih dahulu sentimen suku bunga BI, rupiah, dan arus dana lewat grafik harian—karena belum ada sinyal jelas bahwa tekanan jual institusi lokal sudah berakhir.
Tekanan pada sektor perbankan pekan ini tak hanya soal aksi ambil untung jangka pendek: investor asing tengah mengalihkan preferensi dari big caps bernilai fundamental tinggi—yang selama ini mereka tumpuk—ke saham konglomerat yang baru memasuki indeks LQ45. Alhasil, BBRI turun 1,6% ke Rp3.670, BMRI dan BBNI masing-masa mengkoreksi 0,9% dan 1,5%, sehingga sub-index Bank menghela napas setelah rally lima pekan beruntun. Bagi ritel, penurunan ini bisa jadi celah koleksi bertahap, selalu dengan risiko management dan memperhatikan sentimen suku bunga BI yang masih bisa berubah. Apakah pelemahan ini sudah cukup atau masih ada ruang lanjut? Mari cermati arus dana berikutnya.
